Selasa, Mei 10, 2011

Serbuan Pasukan Lintas Udara (Linud) di Dili 1975


Ketika Presiden Amerika Serikat Gerald Ford yang didampingi oleh Menteri Luar Negeri Henry Kissinger mengadakan pertemuan dengan Presiden Suharto di Istana Merdeka, Jakarta, pada tanggal 6 Desember 1975 pukul 08.00, hari itu merupakan hari H-1 bagi operasi serbuan pasukan linud dan pendaratan amfibi di Dili. Bahkan Hari-H bukan lagi dalam hitungan hari, tetapi dalam hitungan jam. 

Jam-J tinggal menunggu waktu kurang dari 24 jam. Menyingung masalah Timor Timur dalam pertemuan itu, maka tidak sulit bagi Presiden Suharto bahwa Indonesia yang telah menggagalkan perebutan kekuasaan partai komunis dalam tahun 1965, menyalahkan komunis atau golongan kiri yang akan menguasai Timor Portugis. Hal ini disebabkan Amerika Serikat sedang mengalami trauma tentang jatuhnya Pemerintah non-komunis di Vietnam dan Kamboja pada bulan April 1975. 

Pemerintah non-komunis Laos juga jatuh ke tangan komunis pada tahun yang sama. Peristiwa ini menguatkan teori domino yang mengatakan jika salah satu negara non-komunis jatuh, maka negara non-komunis lainnya akan jatuh juga.

Presiden Ford tahu bahwa peralatan militer buatan Amerika Serikat dipakai dalam operasi militer Indonesia di Timor Portugis. Pada waktu itu Menteri Luar Negeri Kissinger sempat bertanya, "Itu alat-alat militer buatan Amerika Serikat dipakai (di Timor Portugis) atau tidak?" Menteri Luar Negeri Adam Malik menjawab, "Kalau tidak ada Hercules kita pakai apa?" 

Mendengar jawaban itu Menteri Luar Negeri Kissinger hanya diam saja. Pertanyaan yang sama juga dilontarkan oleh Brent Scowcroft Ketua US National Security Council kepada Mayjen TNI Benny Moerdani yang berada di ruang lain.

Jenderal berbintang dua itu menjawab, "Kami tidak mempunyai pilihan lain". Menutup pembicaraan tentang masalah Timor Portugis, maka Presiden Ford berkata, "Timor is your problem". Perkataan Presiden Ford itu dapat difatsirkan jika Indonesia masuk ke Timor Timur, Amerika Serikat tidak akan campur tangan. Ketika Menlu Kissinger bertemu dengan Mayjen Benny Moerdani yang sedang bersama Brent Scowcroft, ia meminta agar Indonesia jangan memulai penyerbuannya ke Timor Portugis, sebelum Air Force One keluar dari wilayah udara Indonesia. Mayjen Benny Moerdani menyanggupkan hal itu. 

Presiden Ford dan rombongan meninggalkan Lanud Halim Perdanakusumah, Jakarta, menuju ke Tokyo pada pukul 11.30 WIB.

Secara geografis Timor Portugis cocok digunakan sebagai pangkalan militer di kawasan Asia Tenggara bagi negara Adi Kuasa. Perairan di lepas pantai Utara Timor Portugis memiliki kedalaman sekitar 2000 meter, memungkinkan kapal selam nuklir bergerak di bawah laut melintas dari Samudra Hindia ke Samudra Pasifik atau sebaliknya lewat Selat Ombai dan perairan Maluku. 

Lapangan terbang Baucau sepanjang 2400 meter dapat digunakan untuk mendarat pesawat berbadan lebar sekelas dengan pesawat DC-10. Pesawat intai maupun pesawat pembom jarak jauh dapat mendarat di Baucau. Demikian pula pesawat angkut strategis, Antonov An-124 Condor yang mampu membawa peluru kendali nuklir SS-20 lengkap dengan kendaran peluncur, segala peralatan pendukung serta seluruh personil yang mengoperasikannya.

Seandainya Timor Portugis digunakan sebagai pangkalan militer Sovyet, maka jangkaun pesawat pembom jarak jauh maupun peluru kendali berkepala nuklir, dapat menjangkau ke seluruh benua Australia dan Selandia Baru.

Uni Sovyet yang tidak memiliki pangkalan Angkatan Laut di air hangat di Samodra Pasifik, sangat berkepentingan untuk memiliki pangkalan militer di kawasan Asia Tenggara. 

Wladivostok adalah satu-satunya pangkalan Angkatan Laut Uni Sovyet di pantai Timur benua Asia, tertutup salju selama enam bulan pada musim dingin. Oleh sebab itu dalam Perang Vietnam Uni Sovyet tidak segan-segan mengucurkan dana sebesar US$ 3 milyar dalam bentuk senjata, mengerahkan 3000 orang anggota militer non-tempur, 13 orang diantaranya tewas, untuk memperoleh konsesi Teluk Cam Ranh sebagai pangkalan militernya di Asia Tenggara. Jika Timor Portugis dikuasai oleh golongan komunis, maka peta pertahanan Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik akan mengalami ancaman besar. 

Kekhawatiran Amerika Serikat itu, menyebabkan Presiden Ford memberikan lampu hijau bagi Indonesia masuk ke Timor Portugis. Demikian pula bagi Indonesia, ancaman komunis dari Timor Portugis akan mengganggu keutuhan wawasan Nusantara. 


Persiapan Operasi Seroja

Ketika Presiden Suharto mengadakan pertemuan dengan Presiden Ford di Istana Merdeka, hari itu menjadi puncak pre-positioning pasukan dan pre-stocking logistik maupun peralatan militer untuk serbuan pasukan linud dan pendaratan amfibi di Dili. Sejak 12 Agustus 1975 TNI-AU secara berangsur-angsur telah melakukan pre-positioning pasukan dan pre-stocking logistik dari Lanud Iswahyudi Madiun, ke Lanud Penfui, Kupang, sebagai pangkalan persiapan. Pergeseran pasukan terdiri dari dua satgas, yaitu :

Satgas-A untuk perebutan kota Dili pada Hari-H atau tanggal 7 Desember 1975, dan 
Satgas-B untuk perebutan kota Baucau sebagai kota terbesar kedua di Timor Timur pada hari H+3 atau tanggal 10 Desember 1975.

Satgas-A dibawah pimpinan Letnan Kolonel Inf Matrodji, seorang pejuang 1945 yang menjabat sebagai Komandan Brigif-18/Linud Kostrad. Hanya sekitar tujuh jam, Minggu 7 Desember 1975, Kota Dili dikuasai lewat operasi lintas udara (Linud) terbesar dalam sejarah ABRI.

Grup-1 Kopassandha dan Brigade-18/Linud Kostrad yang sebagian besar dari Batalion-502/Raiders Jawa Timur itu, diterjunkan dari sembilan pesawat angkut C-130B Hercules TNI AU. Menjelang jam 05.00 WITA, BTP-5 (Batalion Tim Pendarat)/Infanteri Marinir, mengendap-endap di pantai Kampung Alor. Dengan dukungan tembakan kanon kapal perang TNI AL, BTP-5 mengawali rencana besar operasi perebutan Kota Dili, 7 Desember 1975. 

Operasi ini merupakan kelanjutan "Operasi Komodo" yang digelar Bakin awal 1975, untuk mengantisipasi makin keruhnya peta politik di Timor Loro Sae (Timor Negeri Matahari Terbit). Euphoria politik yang berkepanjangan ini, memaksa Indonesia meningkatkan operasi menjadi operasi Sandhi Yudha (combat inteligence) terbatas dengan sandi "Operasi Flamboyan".

Operasi yang dipimpin Kolonel Dading Kalbuadi dengan inti pasukan pemukul operasi Grup-1 Para Komando/Kopassandha yang menempatkan Detasemen Tempur-2 (Denpur) di perbatasan sejak Oktober 1975 inilah, yang kemudian berubah ujud menjadi "Operasi Seroja".

Perebutan Dili yang didahului operasi ampibi ini, diputuskan Menhankam/Pangab Jenderal TNI M Panggabean, 4 Desember di Kupang. Operasinya sendiri dilakukan melalui pertimbangan dan analisa lapangan setelah melihat pergerakan pasukan Fretilin. Bukan sepihak, ketegasan sikap Indonesia juga didasari keinginan rakyat Timor Portugal berintegrasi dengan Indonesia. 

Sikap yang diwakili empat partai Apodeti (Associacao Popular Democratica de Timor), UDT (Uniao Democratica de Timorense), KOTA (Klibur Oan Timor Aswain), dan Trabalista itu dikenal dengan Deklarasi Balibo, 30 Nopember 1975. Sikap yang sekaligus menandingi deklarasi berdirinya Republik Demokrasi Timor Timur secara sepihak oleh partai Fretilin (Fronte Revolucionaria de Timor Leste Independente), dua hari sebelumnya.

Sebelum perebutan Dili, Fretilin sudah terlibat baku tembak dengan pasukan ABRI dalam perebutan Benteng Batugade (7 Oktober). Alasan berikutnya, meningkatnya pelanggaran perbatasan diselingi perampokkan ternak oleh Fretilin di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Pelanggaran yang meningkat sejak Juni 1975 itu, sering tertangkap basah oleh ABRI hingga menimbulkan tembak-menembak. Korban mulai berjatuhan.

Lebih seru lagi, sejak 1 Oktober, Komando Tugas Gabungan (Kogasgab) Operasi Seroja mendeteksi keberadaan dua kapal perang kelas frigat AL Portugal di sekitar Timor. Celakanya, 7 Desember pagi, kedua kapal tersebut justru merapat di lepas pantai Dili.

"Mereka buang jangkar lebih dekat ke pulau Atauro, karena di sana bercokol pemerintahan pelarian Portugal dari Timor," kata Hendro Subroto, wartawan TVRI yang meliput saat itu. Entah kebetulan, di selat yang memisahkan pulau Atauro dan pulau Alor ini, tiga formasi arrow Hercules satu formasi tiga pesawat akan membuat manuver abeam (posisi pesawat 90 derajat terhadap suatu check point di sisi kiri atau kanan pesawat).


Gunship

Menjelang berakhirnya tanggal 6 Desember 1975, di Lanud Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur, di luar kebiasaan, ratusan pasukan berperalatan lengkap berseliweran. Sebagian menyandang parasut T-10 buatan Amerika, separuh lagi senapan serbu AK-47 buatan Soviet. Di apron, sembilan pesawat angkut berat C-130B Hercules Skadron 31, siap terbang. 

Beberapa air crew menyempatkan melakukan pemeriksaan akhir sebelum mengudara. Kesembilan pesawat ini tiba di Iswahyudi siang itu. Letkol Pnb. Suakadirul menuturkan, perintah berangkat ke Iswahyudi diterimanya Jumat, 5 Desember, dari Kol. Pnb. Susetyo, Komandan Satuan Tugas Udara Operasi Seroja. 

Isi perintah: usai shalat Jumat, seluruh anggota Skadron 31 kembali ke tempat masing-masing. Tidak seorangpun dibenarkan pulang. "Saya belum tahu kemana arah perintah itu. Tapi saya bisa menduga dengan melihat perkembangan situasi di lapangan," ingat Marsda (Pur) Suakadirul.

Dalam perintah rahasianya, Komandan Skadron 31 diminta menyiapkan 12 pesawat untuk mengangkut satu batalion paratroops. "Jadi saya harus menyiapkan 12 set crew. Pilot, co-pilot, navigator, engineer, radio telegrafis, load master dan pembantunya. Jumlahnya sekitar 120 orang," katanya.

Kebetulan dua pesawatnya dalam perawatan, hanya 10 pesawat bisa disiapkan. Dalam jajaran penerbangnya, Suakadirul sengaja menempatkan dua penerbang senior Letkol Pnb. Siboen dan Kol.Pnb. Suhardjo. "Sebagai panutan, lah."

Maka, esok harinya, sembilan Hercules bertolak dari Halim Perdanakusuma menuju Iswahyudi. Tiga diantaranya mengangkut Kopassandha. Baru di Madiun lah, sorenya, Suakadirul mendapat kejelasan bahwa akan dilakukan operasi pen-drop-an pasukan di Dili. Untuk itu, armadanya akan mengangkut satu batalion pasukan payung.

"Satu pesawat memuat 100 orang," jelas Hendro, wartawan yang meliput.

Pada hari yang sama di Timor, Batalion-403/Raiders Kostrad tiba di lepas pantai Tailaco dengan LST KRI Teluk Bone. Sorenya, disusul BTP-5/Infantri Brigade-1/Pasrat Marinir masuk LST untuk persiapan pendaratan ampibi di Dili jam 05.00 esok harinya.

Tanggal 6 Desember, jam 23.50, flight leader Letkol Pnb. Suakadirul, memulai operasi dengan menerbangkan Hercules T-1308. Berturut-turut, dipekatnya malam, kedelapan pesawat meninggalkan landasan pacu Lanud Iswahyudi.

Pesawat bergerak ke arah Ponorogo, terus heading ke timur sambil menyusun formasi. Dalam penerbangan antara Ponorogo dan Denpasar, sembilan pesawat mulai membentuk formasi arrow dengan panduan exhaust dan lampu take off pesawat.

Sifat operasi pendadakan. Formasi sembilan Hercules ini diberi sandi Rajawali Flight. Untuk menjaga kerahasiaan, selama penerbangan diterapkan radio silence. Komunikasi antar penerbang dilakukan menggunakan morse. Pesawat terus naik hingga mencapai ketinggian 22.000 kaki dengan kecepatan 280 knot.

Di utara Denpasar, leader mengirim morse ke Air Traffic Control (ATC) Bandara Ngurah Rai: Rajawali abeam Denpasar. Lewat Denpasar, Suakadirul kontak Lanud Penfui, Kupang, untuk menginformasikan posisi Rajawali flight pada beberapa check point ke Markas Komando Operasi Seroja di kapal tender kapal selam KRI Ratulangi. 

T-1308 yang paling lambat terbangnya, dipilih sebagai flight leader agar pesawat lain sebagai wingman mudah menyesuaikan dalam terbang formasi. Bertindak sebagai wingman, Letkol Pnb. Sudjiharsono (kiri) dan Kol.Pnb.Suhardjo (kanan). Formasi arrow kedua, dua mil dibelakangnya, diterbangkan Letkol Pnb.Siboen (leader), Letkol Pnb.O H Wello (kiri), dan Letkol Pnb.Sukandar (kanan). 

Arrow ketiga dipimpin Letkol Pnb.Masulili dan Mayor Pnb.Achlid Muchlas/Mayor Pnb.Sudiyarso serta Mayor Pnb.Murdowo. Suakadirul menggambarkan, suasana begitu senyap di pesawat. Desah nafas mereka mengeras, maklum, operasi Linud pertama di Dili dan terbesar bagi Hercules sepanjang sejarah ABRI. Menunggu tentu membosankan. Apalagi tujuan medan perang. 

Perhitungannya, penerbangan ke Dili memakan waktu 4 jam 50 menit. Sementara tiap pesawat membawa 42.000 pound avtur JP-4, yang cukup untuk penerbangan 10 jam 30 menit. Garis besarnya, operasi penerjunan untuk merebut Kota Dili dari Fretilin dilakukan dalam tiga sortie. Sortie pertama dengan sasaran Dili, akan diterjunkan Grup-1 Kopassandha dipimpin Letkol (Inf) Soegito dan Batalion Infantri Linud 501 di bawah komando Letkol (Inf) Matrodji. Sortie kedua, dari Lanud Penfui, Kupang, menyusul Batalion 502 di bawah Mayor (Inf) Warsito dengan target Komoro. 

Khusus Baret Merah, dalam operasi ini dipelopori Denpur-1, disebut juga Nanggala-5, di bawah komandan Mayor (Inf) Atang Sutisna. Sortie ketiga, direncanakan juga dari Kupang. Letkol Soegito membagi Nanggala-5 ke dalam tiga tim. Tim-A dipimpin Mayor Atang Sutisna, melaksanakan perebutan kantor gubernur. Tim-B dipimpin Lettu Atang Sanjaya, merebut pelabuhan Dili. Sedang Tim-C dipimpin Lettu Luhut Panjaitan, merebut lapangan terbang Dili. 

Ketiga tim disebar ke dalam empat Hercules terdepan, dengan perhitungan jika salah satu pesawat mengalami gangguan atau tertembak, tim bisa berharap pada pesawat berikutnya. Artinya, operasi harus tetap jalan. 

Pasukan sortie kedua dan ketiga yang akan diberangkatkan dari Kupang, berasal dari Jakarta dan Jawa Timur. Karena terbatasnya kemampuan TNI AU dalam mendukung angkutan udara, pengiriman pasukan ke Kupang diputuskan menggunakan pesawat Garuda Indonesian Airways.

Garuda menjembatani pengiriman pasukan dari Halim Perdanakusuma dan Iswahyudi menggunakan 17 F-28 dan empat F-27 Friendship. Operasi jembatan udara ini dipimpin langsung direktur utamanya Wiweko Supono.

Untuk mempertahankan pendadakan, tentu tidak sekadar mengandalkan pemahaman topografi. Serangan udara juga berperan. Perebutan Irian Barat memperoleh keunggulan di udara, karena didukung pesawat tempur. Pesawat pembom dan angkutnya, juga mendapat close air support. Sebaliknya, untuk Dili, bantuan tembakan udara (BTU) justru masalah.

Ini disebabkan seluruh pesawat P-51 Mustang Skadron 3/Tempur Taktis dinyatakan grounded, setelah kecelakaan beruntun menewaskan, diantaranya, Mayor Pnb Sriyono. Sedangkan pesawat latih lanjut T-33 T-Bird (versi militernya Shooting Star) dan F-86 Sabre bantuan Australia, belum dipersenjatai.

Dari tujuh bomber B-26 Invader Skadron 2/Pembom Taktis, hanya dua yang serviceable. Penerbang pesawat peninggalan PD II inipun, hanya dua orang yang masih berkualifikasi. Yaitu Letkol Pnb Danendra (Danlanud Penfui) dan Mayor Pnb Soemarsono, yang ditarik kembali dari Pelita Air Service.
Pentingnya BTU sangat disadari Amerika ketika di palagan Vietnam. Tidak heran kemudian, Jenderal USAF John P McConnel mengusulkan modifikasi C-47 menjadi gunship untuk mendukung bantuan tembakan udara. Dakota itu kemudian populer dengan sebutan Gooney Bird. Sebutannya pun diganti menjadi AC-47 mulanya FC-47. 

Pesawat yang dilengkapi tiga senapan mesin kaliber 7,62 mm di sisi, selama perang Vietnam digunakan USAF sebanyak 20 pesawat di samping AC-130 Spectre Gunship. Terinspirasi oleh kepopuleran gunship ini, dua pesawat C-47 Dakota Skadron 2/Angkut Ringan TNI AU, dibedah menjadi AC-47 gunship. Mekanik dan teknisi Depopesbang 10 Bandung, menjejali dengan tiga senapan mesin kaliber 0,50 mm. 

Untuk mengenal medan, ujicoba penembakan dilakukan di sepanjang perbatasan Timor Portugal bulan September 1975. Jadilah dua B-26 dan dua AC-47, direncanakan memberikan BTU dalam mendukung operasi Linud 7 Desember.




satgas-A membawahi Brigif-18, terdiri dari 285 orang anggota Yonif 501/Raiders dari Jiwan, Madiun (Komandan : Mayor Inf Ismail), 443 orang anggota Yonif 502/Raiders dari Singosari, Malang (Dan : Mayor Inf Warsito), 170 orang anggota Grup-1 Parako/Kopasandha (Dan : Letkol Inf Sugito), 400 orang anggota BTP-5/Infrantri Brigade-1/Pendarat Marinir dari Karangpilang Surabaya (Dan : Letkol Mar Achmad Sediono), dan 158 orang anggota Detasemen A Kopasgat TNI-AU dari Lanus Husein Sastranegara, Bandung (Dan : Kapten Psk Silaen). Keseluruhan pasukan pemukul ini berjumlah 8.471 orang.


Operasi Lintas Udara mengggunakan 9 pesawat Hercules C-130B dari Skudron 31/Angkut Berat dengan flight leader Letkol Pnb Suakadirul. Penerjunan dilakukan dalam 3 sortie. Jika sortie-1 menggunakan 9 pesawat, sortie-2 hanya menggunakan 5 pesawat akibat adanya pesawat yang mengalami kerusakan akibat tembakan Fretilin. Sementara penerjunan sortie-3 dibatalkan sesaat sebelum pesawat taxi.




Pesawat terus bergerak dalam kesunyian. Sesekali, bunyi morse memecah keheningan. Di timur Flores, Rajawali flight perlahan-lahan turun ke 5.000 kaki sambil menyusun formasi penerjunan. Persis di atas pulau Alor pada ketinggian 7.000 kaki, lampu merah dekat pintu menyala dan bel berdering pendek tiga kali sebagai tanda pasukan mulai berdiri untuk persiapan.

Waktu penerjunan menjelang lampu hijau tinggal 10 menit lagi. Anggota Kopassandha dan Brigade-18/Linud Kostrad, mencantolkan pengait pada ujung strop di kabel baja yang merentang di kabin. Dengan sigap, posisi ransel, senjata, dan perlengkapan perorangan lainnya dibenahi. Hampir tidak ada suara. Semua membisu dalam kesibukkan masing-masing.

Abeam Atauro, pesawat sudah di 5.000 kaki. Karena radar pesawat digunakan untuk cuaca, Suakadirul dibuat kaget ketika melongokkan kepalanya melihat dua kapal frigat Portugis Joao Roby dan Alfonso de Albuquerque lego jangkar di lepas pantai Atauro. "Tidak ada informasi dua kapal frigat dilengkapi radar dan sonar, buang sauh di Atauro," protes Suakadirul. Aneh. Padahal, KRI Ratulangi sudah berpapasan dengan Joao Roby di perairan Timor, 23 Oktober. Hebat lagi, sejak 1 Oktober keberadaan kapal yang memiliki 3 kanon 100 mm ini sebenarnya sudah diketahui. "Saya tidak mengerti soal itu," jawab Suakadirul.

Pintu kiri-kanan pesawat mulai dibuka. Kecepatan dikurangi hingga 110 knot. "Saya bilang kita 5.000 kaki. Lampu kuning menyala, terus depressurized," cerita Suakadirul. Waktu tersisa menuju dropping zone (DZ) tinggal empat menit. Perlahan, jarak horizontal antar pesawat di perpendek hingga 300 kaki (sekitar 100 meter). Demikian pula jarak vertikal antar pesawat, hanya selisih 50 kaki. "Saya berada pada ketinggian 900 kaki," ucap Suakadirul. Jadi kalau dihitung hingga pesawat terakhir, ketinggiannya 1.250 kaki.

Mendekati pantai Dili, dengan referensi Tanjung Fatukama, Rajawali flight belok kanan langsung menuju jantung kota Dili. Agar pesawat mampu terbang pada kecepatan 110 knot, menurut Suakadirul, flap diturunkan sebesar 50 persen. Bagi Suakadirul, Dili bukan hal baru. Tahun 1970, lulusan Chekoslowakia ini telah mondar-mandir dengan Dakota milik Zamrud rute Denpasar, Rembiga, Sumbawa, Kupang dan Dili untuk RON (remain over night). Sementara, navigator buka suara, "2 menit ahead."

Sembilan pesawat muncul dari balik perbukitan tanpa lindungan (escort) B-26 dan AC-47. Bel berdering panjang sekitar lima detik setelah Hercules T-1308 terbang melintas di atas sisi barat perkampungan nelayan. Jam di tangan Suakadirul menunjukkan pukul 05.45, bertepatan perubahan lampu kuning menjadi lampu hijau. "Kerongkongan saya mendadak kering," ujar Suakadirul.

Hanya dalam hitungan detik menjelang jam 05.45, jumping master berteriak. "Penerjun siap?" Dilanjutkannya dengan perintah, "Sedia di pintu!" Sekian detik kemudian, jumping master berteriak lebih keras. "Go!"Mengambil arah 260 derajat atau hampir ke barat pada garis sejajar dengan jalan Dr. Antonio de Carvalho di tengah Kota Dili, anggota pertama melompat dari Hercules T-1308. Ratusan kemudian, berbaur dari Kopassandha dan Kostrad, melompat dari tiap pesawat.

Dalam empat hitungan, parasut T-10 berwarna hijau zaitun terkembang dikeremangan pagi di atas Dili. Karena komunikasi segitiga Fretilin, Dili-Atauro-kapal frigat sudah terjalin rapi, penerjunan sortie pertama kehilangan faktor pendadakan. Pasukan diberondong secara sporadis dari bawah. Peluru api (tracer) yang dilepas Fretilin, bagai kunang-kunang memenuhi langit.



Pasukan Linud yang masih mengambang, balik menembak. Maka, pagi itu, terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Linud dan gerombolan Fretilin. Entah digunakan pada saat D-day, beberapa bulan sebelumnya menurut Hendro, 15.000 pucuk senjata peninggalan Portugal dibagi-bagikan Fretilin untuk mempersenjatai rakyat. Sesungguhnya juga, Fretilin telah siaga begitu listrik dipadamkan jam 03.00 bertepatan pendaratan marinir disertai tembakan kanon dari kapal TNI AL. Dan radar Plessey dua kapal frigat Portugal pun, tentu tidak tidur.


Dapat dibayangkan perjuangan hidup-mati pasukan Linud. Tidak semua mendarat dengan selamat. Ada yang kandas di atap rumah, tersangkut di pohon atau di pagar. Yang mendarat di lapangan terbuka di tengah kota, "terpaksa" menjadi sasaran empuk. Belum sempat berbenah, mereka langsung terlibat baku tembak dengan Baret Coklat mantan Tropaz, serdadu Portugal.

Sama sekali tidak ada waktu untuk konsolidasi. Tiga tim yang ditunjuk, berusaha keras menyebar memulai operasi pembebasan kantor gubernur, pelabuhan, dan lapangan terbang. Tembak-menembak bergemuruh di mana-mana. Walaupun sudah mengetahui kedatangan pasukan Indonesia, Fretilin tetap kocar-kacir. Jika mau bersabar, tentu Indonesia bisa mengambil keuntungan dengan perencanaan matang karena Fretilin tidak pernah memprediksi Indonesia akan menyerbu dari udara.

Perkiraannya serbuan dari perbatasan. Karena saat penerjunan pesawat dihujani tembakkan ditambah obstacle bukit setinggi 1.500 kaki di ujung runway Dili, Rajawali flight harus belok ke kanan arah pantai untuk terbang ke Kupang. Karena juga DZ cukup pendek dan interval penerjunan terlalu lama waktunya cuma satu menit 79 orang dari 720 pasukan para batal terjun, termasuk komandan Tim-C Lettu Luhut Panjaitan.

Tidak hanya mengenai pasukan, tembakkan dari bawah juga menghantam empat Hercules. Bahkan, load master T-1312 yang diterbangkan Letkol Wello, Pelda Wardjijo, tewas diterjang peluru yang menembus badan pesawat. Pesawat Suakadirul juga tak luput. Peluru merusak navigation compass dan auxiliary hydraulic pump. Peluru juga menembus kaca kokpit di sisi kiri Suakadirul. Secangkir kopi yang ditaruhnya, terlontar ke depan kokpit dan membasahi dahi sang captain.

Crew sempat menduga captain-nya tertembak. Apalagi setelah melihat cairan kental meleleh di kepalanya. "Ternyata cuma kopi." Dua pesawat Hercules lainnya yang diterbangi Letkol Pnb. Sudji Harsono dan Kol.Pnb. Sukandar, turut tertembak. Kesembilan pesawat plus 79 anggota yang batal terjun, meneruskan penerbangan ke Kupang selama 48 menit. Dari Kupang, setelah memeriksa kondisi pesawat yang tertembak, sortie kedua dilanjutkan menggunakan lima Hercules. Komoro ditentukan sebagai DZ.

Karena empat pesawat tidak laik terbang, setengah kekuatan Batalion 502, tidak terangkut. Jam 07.45, sortie kedua diterjunkan di Komoro dengan aman karena Fretilin telah dipukul mundur ke perbukitan di selatan Dili. Suakadirul mengganti pesawatnya dengan T-1305.


Salah tembak

Sortie kedua berhamburan ke luar pesawat. Entah siapa yang memerintahkan, saat melayang di udara, 400 lebih Baret Hijau menghujani dengan tembakan dan granat iring-iringan pasukan yang sedang bergerak menuju lapangan terbang Dili. Seperti sortie pertama, tembak-menembak kembali terulang.

Saling membidik terus berlangsung tanpa kedua pihak menyadari, mereka adalah teman. Di bawah Marinir yang habis memukul mundur Fretilin di sepanjang garis pantai, yang melayang, Kostrad. Untunglah Marinir cepat berinisiatif mengakhiri tembak-menembak (friendly fire), dengan mengibarkan "Merah Putih". Untung lagi, tidak ada korban.

Suakadirul mengetahui kesalahpahaman itu beberapa saat kemudian. Setibanya di Penfui, Rajawali flight mempersiapkan sortie ketiga penerjunan pasukan Kostrad yang masih tersisa ke pinggiran barat Kota Dili. Takut kejadian tragis sortie kedua terulang kembali, Mako Operasi Seroja memutuskan membatalkan sortie ketiga.




Setelah berjuang dari jam 06.00 hingga tengah hari, Dili akhirnya dibebaskan. Fretilin mundur ke perbukitan selatan kota Dili. Pemimpinnya melarikan diri ke Aileu. Lobato dan Ramos Horta hengkang ke Australia. Hanya mantan Tropaz yang berani bertahan. Petangnya, 7 Desember, pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa hari itu, pukul 12.30, Dili telah dibebaskan oleh perlawanan rakyat yang dipelopori Apodeti, UDT, KOTA dan Trabalista dibantu para sukarelawan Indonesia.

Besoknya dalam evaluasi, korban dihitung. 35 orang Baret Hijau yang hampir seluruhnya dari Batalion-502/Raiders, termasuk dua mayor dan dua kapten, tewas. Dari Baret Merah, 16 orang tewas tertembak. Tiga lagi tenggelam di laut. Tiga orang yang semula hilang, mayatnya ditemukan beberapa bulan kemudian. Komandan Tim-B, Lettu Atang Sanjaya, terkena pecahan munisi AK-47-nya yang tertembak. Malang bagi rekannya, Mayor Atang Sutisna, tewas tertembak. "Ditembak sniper," ungkap Hendro.





Di pihak Fretilin, korban lebih banyak lagi. Hendro Subroto mencatat dalam tulisannya yang dimuat majalah Airforces, edisi Januari 1999 di bawah judul "Drop Zone Dili", 122 tewas dan 365 orang tertawan. Operasi terus bergulir. Tiga hari kemudian, giliran Baucau dibebaskan.(ben).


Sumber : 
www.angkasa-online.com
forum militer www.kaskus.us

7 komentar:

  1. Penyerbuan tersebut melanggar hukum internasional,dan akhirnya Indonesia mengalami kekalahan yang memalukan. Indonesia seharusnya sadar bahwa mereka melawan rakyat yang ingin merdeka,ini sangat sulit untuk ditaklukan.

    BalasHapus
  2. Nicolau Lobato,Panlima tertinggi FALINTIL dan pemimpin perlawanan pernah mengatakan pada suatu kesempatan bahwa, kalo Indonesia pintar mereka tidak akan mencamplok negri saya,karena cepat atu lambat mereka akan kalah.

    BalasHapus
  3. Akhirnya Rezim diktator soeharto yang ganas mengelabui rakyat indonesia bahwa penyerbuan tersebut dikehendaki oleh rakyat timor portugis,padahal mereka yang menghendaki penyerbuan ini adalah para penghianat bangsa Timor yang haus darah dan materi.

    BalasHapus
  4. Viva FRETILIN
    Viva FALINTIL
    Viva Povo Maubere
    Viva Nicolau Lobato
    Viva Kay Rala Xanana Gusmao
    Viva Para martir rakyat Mau bere

    BalasHapus
  5. terima kasih untuk pendapatnya..

    biar jadi pelajaran untuk semua dan diambil hikmahnya..

    saya sendiri ga mau menyinggung soal politis dan lebih memaknai artikel diatas sebagai pembahasan sebuah strategi militer diterapkan di lapangan..

    BalasHapus
  6. sayang seribu sayang ...coba kalau dulu kita drop pake hercules cewek murahan kaya krisdayanti....tuh si lemos juga sampe lemesdi goyang dombret krisdayanti hahaha...kita kagak usah ngorbanin banyak tentara ...hidup krisdayanti....

    BalasHapus
  7. @anonim:

    hahaha.. :D :D

    waduh saya ga ikut2an deh kalo soal infotainment..

    BalasHapus