Sabtu, Januari 12, 2013

Memilih Diantara Sektor Properti

source pic: financeroll.co.id

Salah satu sektor yang bersinar di Bursa Efek Indonesia selama setahun terakhir ini diantaranya adalah sektor properti. Ketika Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada tahun 2012 ditutup dengan kenaikan hanya 10%, sektor properti mampu menutup tahun 2012 dengan kenaikan fantastis sebesar 41%.

Konon, investor kenamaan seperti Warren Buffett sendiri menghindari saham-saham properti karena satu hal yang tidak ia sukai yaitu dalam jangka panjang, perusahaan properti akan sulit bertumbuh lagi ketika land bank atau cadangan lahannya berkurang dan habis. Sedangkan Beberapa pengamat di pasar modal menganggap sektor properti saat ini sudah memasuki fase bubble.
 
Kepala Divisi Riset BEI, Poltak Hotradero, pernah menyampaikan bahwa ada indikasi terjadinya bubble pada sektor properti. Kenaikan harga properti sekarang ini dianggap sudah melewati batas wajar dan sudah menjadi ajang spekulasi. Hal ini dibuktikan dengan kenaikan harga properti yang bisa 3 kali lipat dalam waktu relatif singkat (2 tahun), dan banyaknya tanah, rumah, dan atau apartemen yang ada pemiliknya namun kosong / tidak dihuni.

Menurut beliau, solusi untuk mencegah bubble adalah dengan menambah pasokan dengan meningkatkan pajak bagi tanah atau rumah kosong sehingga kecenderungan seseorang untuk spekulasi properti menurun, dan ketersediaan pasokan lahan untuk pembangunan tempat tinggal akan terpenuhi.

Sedangkan untuk mengakomodir orang yang ingin berinvestasi di bidang properti bisa melalui REIT (Real Estate Investment Trust) atau semacam wadah pengelolaan dana investasi yang digunakan untuk membeli dan mengelola aset properti seperti Mall, Apartemen, Rumah Sakit, Hotel, dll. Dengan REIT, maka hak kepemilikan atas aset properti dibagi-bagi ke banyak investor dan dapat diperjualbelikan seperti halnya surat berharga, investor REIT nantinya mendapat untung dari hasil sewa aset.

Argumen lain menyatakan bahwa sektor properti di Indonesia masih jauh dari bubble, dan memiliki karakteristik yang berbeda dibanding sektor properti di Amerika, yang memicu krisis ekonomi di negara tersebut pada tahun 2008. Gagal bayar di industri properti Indonesia dianggap hanya berdampak pada kredit macet di perbankan (KPR). Dan selain karena setiap bank sudah punya manajemen risiko terhadap kredit macet (Non Performing Loan/NPL), BI sendiri sudah mengantisipasi dengan aturan batas minimum DP (uang muka) KPR, serta adanya sistem BI Checking untuk mengetahui profil risiko nasabah KPR.

Apalagi di Indonesia Mortgage Backed Security (MBS) / Efek Beragun Aset tidak begitu populer seperti di Amerika. MBS pada dasarnya adalah menjadikan kredit pemilikan rumah (KPR) yang oleh bank disekuritisasi (securitization) / dikemas menjadi surat hutang yang beragun aset properti dan diperjualbelikan kembali kepada investor lain (institusi pengelola dana pensiun, asuransi, dll)

Menjadi masalah, subprime mortgage atau KPR yang berisiko tinggi (potensi gagal bayar tinggi) tersebut ketika dijual kembali dalam bentuk MBS oleh lembaga pemeringkat (rating agency) diberikan rating investment-grade atau layak investasi.  

Disaat bubble properti meletus dan harga rumah jatuh drastis, gagal bayar KPR terjadi dimana2, lembaga2 keuangan yang punya eksposure terhadap kredit tersebut pun mengalami kesulitan keuangan dan terpaksa harus diakuisisi atau bangkrut seperti Lehman Brothers, selain itu Pemerintah Amerika pun juga harus mem-bail out perusahaan finansial Fannie Mae and Freddie Mac.


Sektor Properti Berbasis Kawasan Industri

Dari pembahasan bubble properti yang sejauh ini dibahas oleh analis cenderung hanya pada properti yang berbasis residensial (hunian tempat tinggal), padahal kita tahu di Bursa Efek Indonesia, emiten / perusahaan properti juga ada yang fokus bisnisnya adalah menyediakan lahan komersial / kawasan industri. Daerah-daerah kantung industri dipinggiran kota Jakarta seperti Bekasi, Sentul, Karawang, Cikarang, dan Tangerang merupakan kawasan yang cukup strategis.



Untuk perusahaan properti yang berbasis kawasan industri, faktor permintaan (demand) akan kebutuhan lahan sangat berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi. Indonesia sendiri cukup 'beruntung' masih bisa merasakan pertumbuhan ekonomi di kisaran 6% ditengah-tengah krisis ekonomi dunia, sedangkan tingkat inflasi tahunan 2012 hanya 4,3%.

Ketika ekonomi bertumbuh, perusahaan-perusahaan akan melakukan ekspansi / pengembangan usaha atau peningkatan kapasitas produksi. Daerah yang menjadi pilihan pengusaha biasanya yang sudah memiliki infrastruktur penunjang yang memadai dan tentu sumber daya manusia di daerah sekitarnya untuk dijadikan tenaga kerja.

Mengenai tenaga kerja, hal yang menjadi perhatian di tahun 2013 ini diantaranya adalah kenaikan upah minimum yang bisa dibilang cukup tinggi. Bermula dari kenaikan 43% upah minimum propinsi (UMP) DKI Jakarta menjadi Rp 2,2 juta, daerah sekitarnya seakan tidak mau kalah ikut menaikan upah minimum daerahnya masing-masing. Menurut sumber detik.com, upah minimum di Jawa Barat: Kabupaten Karawang Rp 2.000.000, Kabupaten Bekasi Rp 2.002.000, Kota Bekasi Rp 2.100.000, Kota Depok Rp 2.042.000, Kabupaten Bogor Rp 2.002.000, Kota Bogor Rp 2.002.000, Kabupaten Sukabumi Rp 1.201.000, Kota Sukabumi Rp 1.050.000. Sedangkan untuk Tangerang rilis resminya belum ditetapkan namun diperkirakan hampir sama dengan DKI sekitar Rp 2,2 juta.

Kenaikan upah minimum yang signifikan sebetulnya banyak berimbas pada peningkatan biaya produksi pengusaha. Dikhawatirkan para pengusaha yang tidak sanggup memenuhi tuntutan kenaikan upah bisa merelokasi usaha atau melakukan pemutusan hubungan kerja. Tidak hanya itu, kenaikan tarif dasar listrik sebesar 15 persen secara bertahap untuk pelanggan di atas 900 watt mulai 1 Januari 2013 dengan skema kenaikkan TDL per tiga bulan dengan besaran 4,3 persen tiap kali kenaikkan juga akan tambah memberatkan.

Bagi perusahaan properti pengelola kawasan industri mungkin juga bisa ikut terkena dampak negatifnya. Dan hal ini mungkin bisa terlihat di kinerja keuangan pada laporan keuangan kuartal I dan II - 2013.


Saham Properti Kawasan Industri

Dilihat dari land bank atau cadangan lahan yang dimiliki, Sentul City Tbk. (BKSL) memiliki total land bank paling luas, yaitu 9000 ha. namun jika dilihat dari Price/Earning Ratio (PER) yang umumnya digunakan sebagai salah satu cara mengukur valuasi, saham BKSL terbilang sudah tidak murah. PER BKSL menurut data reuters sudah 34,40, padahal PER sektor properti adalah 31,70.

Dari data laporan keuangan kuartal ketiga 2012, BKSL mencatatkan laba bersih sebesar Rp180,9 miliar, meningkat 50% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2011 sebesar Rp120,2 miliar, beban pokok pendapatan juga naik dari Rp130,7 miliar pada kuartal III-2011 menjadi Rp253,1 miliar (year on year), Tercatat per September 2012 total aset perseroan mencapai Rp5,8 triliun, tumbuh dari posisi Desember 2011 sebesar Rp5,2 triliun.

Sedangkan pergerakan saham di awal tahun 2013, sampai penutupan jumat (11 januari 2013) BKSL sudah naik 21,05%. Lonjakan yang cukup tinggi ini dikabarkan karena adanya rumor bahwa perusahaan furniture & home product terkemuka milik Ingvar Kamprad asal Swedia, IKEA, akan membeli saham BKSL terkait rencana ekspansi IKEA di Indonesia. Toko pertama IKEA sendiri akan dibuka tahun depan bukan di sentul, melainkan di daerah Alam Sutera, Banten.

Yang juga mengalami peningkatan harga secara signifikan di awal tahun ini adalah PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA). Sampai dengan penutupan jumat lalu, harga saham KIJA sudah naik 19,51%. Dari data laporan keuangan pada kuartal ketiga 2012, KIJA membukukan laba bersih sebesar Rp281 miliar, meningkat 127% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2011 sebesar Rp124,2 miliar.

Mulai bulan oktober 2012, power plant atau pembangkit listrik milik KIJA juga sudah beroperasi, jadi selain untuk memenuhi kebutuhan listrik untuk kawasan industrinya, KIJA juga dapat untung dengan menjual kelebihan listrik kepada PLN, mungkin ini salah satu pemicu kenaikan harga saham KIJA. PER KIJA yang masih 6,27 dapat dibilang masih cukup murah.

Saham yang terkait kawasan industri dengan valuasi cukup murah juga adalah SSIA (PER 9,11) dan LPCK (PER 5,67). PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA) pada kuartal ketiga tahun 2012 membukukan laba bersih hingga Rp550,74 miliar, melonjak dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2011 sebesar Rp183,1 miliar namun total liabilitas perseroan juga naik mencapai Rp2,21 triliun dari posisi akhir tahun 2011 sebesar Rp1,73 triliun.

Diversifikasi usaha SSIA dibidang konstruksi diantaranya adalah pembangunan jalan tol cikampek - palimanan yang tahun 2013 atau 2014 diperkirakan akan rampung. Sedangkan dibidang hospitality, SSIA merupakan pemilik Hotel Gran Melia. Awal Tahun ini terhitung dari 2 januari hingga 11 januari 2013, harga saham SSIA sudah naik 15,38%.

Sedangkan anak usaha grup Lippo, Lippo Cikarang mungkin satu2nya diantara saham yang bermain di bisnis lahan industri yang belum bergerak, karena awal tahun 2013 ini sampai dengan jumat kemarin posisinya hanya naik 1,57%. Bukan berarti saham LPCK tidak bagus, karena terbukti LPCK meraih peringkat teratas penghargaan best of the best emiten 2012 versi Forbes Indonesia.

Sebagai kota mandiri terkemuka dikawasan timur kota Jakarta, kawasan light industri yang mengedepankan teknologi ramah lingkungan, lippo cikarang  merupakan salah satu favorit investor. Saat ini tercatat lebih dari 700 industri yang beroperasi di kawasan dengan luas sekitar 3.000 hektar (ha) ini dan total pekerja yang beraktivitas setiap harinya sekitar 320.000 orang.

Berikut ini merupakan komposisi tenant LPCK berdasarkan negara asalnya:


sedangkan berdasarkan jenis industrinya:



Satrio Utomo, kepala riset PT Universal Broker Indonesia, pernah mengutarakan keraguannya terhadap corporate culture dari grup Lippo. seperti dikutip inilah.com: Satrio mengaku dirinya merasakan sepak terjang grup Lippo di era 90-an sehingga sulit untuk percaya penuh pada fundamental perusahaan di grup ini. “Karena itu, kalau untuk trading tak masalah."

LPCK saat ini memang belum memberikan deviden bagi pemegang saham dan harga saham yang nominalnya cukup besar mungkin juga membuat saham LPCK kurang likuid bagi investor saham. Aksi korporasi seperti pembagian dividen dan stock split mungkin bisa membuat saham ini bergerak lebih baik menuju angka wajarnya dikisaran Rp 5000 per lembar.

PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) hingga kuartal tiga 2012 membukukan laba bersih konsolidasi senilai Rp286,46 miliar atau meningkat 93,51% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp148,03 miliar. Sementara liabilitas LPCK sendiri cukup baik karena sama sekali tidak memiliki hutang usaha sehingga Debt Equity Ratio (DER) nya pun sangat bagus, liabilitasnya mayoritas dari uang muka konsumen. Sampai kuartal tiga 2012, aset LPCK sendiri naik 24% dari Rp. 2,041 Triliun menjadi Rp. 2,527 Triliun.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar