Sabtu, Oktober 13, 2012

Kelapa Sawit, Dilema Kesejahteraan dan Kelestarian Lingkungan

sumber: www.palmoilhq.com

Sejak tahun 2006, Indonesia telah melewati Malaysia sebagai penghasil terbesar minyak kelapa sawit dunia. Minyak kelapa sawit merupakan komoditas ekspor utama yang memberikan sumbangan devisa terbesar dari sektor non migas dan terbukti telah meningkatkan taraf hidup masyarakat yang diuntungkan dari budidaya dan industri terkaitnya.

Hasil dari tanaman kelapa sawit digunakan sebagai bahan baku minyak goreng, margarin, sabun, kosmetika, industri farmasi, hingga bahan bakar (biofuel).

Namun seiring dengan meningkatnya pertumbuhan luas lahan kelapa sawit ini juga memiliki efek negatif yang berdampak pada rusaknya kelestarian lingkungan.

Mulai dari deforestasi atau pengalihfungsian hutan menjadi lahan perkebunan, terancamnya spesies orang utan, gajah dan harimau sumatera, terusirnya warga suku pedalaman dari kawasan hutan, hingga kabut asap yang disebabkan pembukaan lahan secara liar dengan pembakaran oleh masyarakat yang berniat membuka lahan sawit.

Berdasarkan sumber Wikipedia, Kelapa sawit yang dibudidayakan terdiri dari dua jenis: E. guineensis dan E. oleifera. Jenis pertama yang terluas dibudidayakan orang. dari kedua species kelapa sawit ini memiliki keunggulan masing-masing. E. guineensis memiliki produksi yang sangat tinggi dan E. oleifera memiliki tinggi tanaman yang rendah. banyak orang menyilangkan kedua species ini untuk mendapatkan species yang tinggi produksi dan gampang dipanen.

Sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis (15° LU - 15° LS). Tanaman ini tumbuh sempurna di ketinggian 0-500 m dari permukaan laut dengan kelembaban 80-90%. Sawit membutuhkan iklim dengan curah hujan stabil, 2000-2500 mm setahun, yaitu daerah yang tidak tergenang air saat hujan dan tidak kekeringan saat kemarau. Pola curah hujan tahunan memengaruhi perilaku pembungaan dan produksi buah sawit.


Sejarah Perkebunan Kelapa Sawit

Kelapa sawit didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an. 

Pada saat yang bersamaan meningkatlah permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19. Dari sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenallah jenis sawit "Deli Dura". Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial dengan perintisnya di Hindia Belanda adalah Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu diikuti oleh K. Schadt. 
 
sumber: www.butonutara.blogspot.com

Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera Utara dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada 1911-1912.

Di Malaya, perkebunan pertama dibuka pada tahun 1917 di Ladang Tenmaran, Kuala Selangor menggunakan benih dura Deli dari Rantau Panjang. Di Afrika Barat sendiri penanaman kelapa sawit besar-besaran baru dimulai tahun 1910. Hingga menjelang pendudukan Jepang, Hindia Belanda merupakan pemasok utama minyak sawit dunia. 

Semenjak pendudukan Jepang, produksi merosot hingga tinggal seperlima dari angka tahun 1940. Usaha peningkatan pada masa Republik dilakukan dengan program Bumil (buruh-militer) yang tidak berhasil meningkatkan hasil, dan pemasok utama kemudian diambil alih Malaya (lalu Malaysia). Baru semenjak era Orde Baru perluasan areal penanaman digalakkan, dipadukan dengan sistem PIR Perkebunan. 

Perluasan areal perkebunan kelapa sawit terus berlanjut akibat meningkatnya harga minyak bumi sehingga peran minyak nabati meningkat sebagai energi alternatif. Beberapa pohon kelapa sawit yang ditanam di Kebun Botani Bogor hingga sekarang masih hidup, dengan ketinggian sekitar 12m, dan merupakan kelapa sawit tertua di Asia Tenggara yang berasal dari Afrika. 


Data Produksi dan Konsumsi Minyak Kelapa Sawit Dunia

      *dalam satuan metric ton

Sumber: Departemen Pertanian Amerika Serikat


Industri Kelapa Sawit yang Berkelanjutan

Untuk menjaga kelestarian alam tetap terjaga, berbagai upaya sebenarnya sudah dilakukan untuk menanggulangi masalah yang terkait dampak negatif industri kelapa sawit, diantaranya adalah pembentukan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), lembaga internasional yang bertugas mengawasi dan menjaga industri minyak kelapa sawit tetap berkelanjutan (sustainable).

Upaya yang dilakukan RSPO diantaranya meliputi sertifikasi standarisasi praktek lingkungan, sosial dan agrikultur yang baik, mengawasi mulai dari kelapa sawit pertama ditanam, tumbuh, hingga ke tujuan akhir (konsumen atau produk olahan lain).

Pemerintah Indonesia sendiri pada tanggal 26 Mei 2010 telah menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan pemerintah Norwegia mengenai Moratorium alih fungsi hutan selama dua tahun, sejak 1 Januari 2011 hingga 31 Desember 2012, di wilayah hutan alam dan lahan gambut di Indonesia. 

Artinya, semua izin yang berkaitan dengan kegiatan di hutan alam akan dihentikan selama dua tahun. Adapun yang terkena dampak dalam hal ini antara lain industri kehutanan, industri perkebunan kelapa sawit, aneka tambang di dalam hutan dan sebagainya.

LoI  merupakan kesepakatan kerja sama antara kedua pihak untuk melakukan penurunan emisi gas rumah kaca, deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/REDD+). Sebagai imbalannya, Pemerintah Norwegia menjanjikan 1 miliar USD atau sekitar Rp1 triliun per tahun.

Bagi perusahaan yang melanggar peraturan moratorium ini harusnya ditindak tegas, sanksi nya harus benar-benar memberikan efek jera. Sayangnya penegakan hukum di Indonesia ini yang masih sangat lemah.

Menurut saya, moratorium tersebut sebetulnya sangat baik dan malah diharapkan bisa terus diperpanjang sampai batas waktu yang tidak ditentukan walaupun perjanjian bilateral dengan pemerintah Norwegia berakhir nantinya. 

Bagaimana dengan nasib industri perkebunan? 

Berdasarkan data perusahaan perkebunan ternyata pada umumnya lahan yang dimiliki sesuai izin pemerintah oleh perusahaan sawit tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan secara maksimal, sehingga  tanpa membuka lahan baru pun sebenarnya masih bisa mengintensifkan lahan yang sudah ada.  

ulasan dan data mengenai lahan perusahaan perkebunan sawit lihat di: http://duniaindustri.com/berita-agroindustri-indonesia/442-daftar-45-perusahaan-cpo-terbesar-di-indonesia.html

 
Data Lahan Perusahaan Sawit
Sumber: duniaindustri.com

Selain itu dengan tanpa adanya pembatasan jumlah lahan maka akan mengakibatkan produksi yang berlebihan (over supply), hal ini akan menyebabkan harga minyak kelapa sawit anjlok di pasaran, tentunya hal ini juga akan kontra produktif bagi industri.

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 128/PMK.011/2011 dan sebagaimana telah diperbaharui melalui PMK Nomor 75/PMK.011/2012 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar minyak kelapa sawit juga cukup tepat. Karena dengan demikian perusahaan diharapkan terdorong untuk mengembangkan industri hilir minyak kelapa sawit yang memberikan lebih nilai tambah (value) dan menyerap lapangan kerja yang lebih banyak. Selain itu, peraturan ini juga baik untuk menjaga ketersediaan pasokan dan stablitas harga di dalam negeri.

Sedangkan untuk menguatkan posisi tawar dalam perdagangan sawit dunia, diperlukan kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Malaysia yang bila digabung merupakan produsen 90% minyak kelapa sawit. Pentingnya daya tawar ini terkait penentuan harga jual seperti halnya yang dilakukan organisasi kartel minyak bumi dunia (OPEC), dengan posisi daya tawar yang kuat diharapkan perdagangan sawit tidak sembarangan didikte oleh negara lain (khususnya negara konsumen minyak kelapa sawit).



2 komentar: