Kamis, Oktober 21, 2010

Gie

"Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur."


Kata-kata diatas diambil dari buku harian seorang pemuda paling berpengaruh di Indonesia. Dia adalah Soe Hok Gie. Soe Hok Gie (lahir di Djakarta, 17 Desember 1942 – meninggal di Gunung Semeru, 16 Desember 1969 pada umur 26 tahun) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.

Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin (Hanzi: 蘇福義). Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina.

Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).

Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia.

Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).

Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).

Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.

Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.

John Maxwell menulis biografi Soe Hok Gie dengan judul Soe Hok Gie - A Biography of A Young Indonesian Intellectual (Australian National University, 1997).

Pada tahun 2005, catatan hariannya menjadi dasar bagi film yang disutradarai Riri Riza, Gie, dengan Nicholas Saputra berperan sebagai Hok Gie.

---------------------------------------------------------------------------

Quote Hok Gie :

Saya mimpi tentang sebuah dunia,
Di mana ulama - buruh dan pemuda,
Bangkit dan berkata - Stop semua kemunafikan,
Stop semua pembunuhan atas nama apa pun.

Dan para politisi di PBB,
Sibuk mengatur pengangkutan gandum, susu dan beras,
Buat anak-anak yang lapar di tiga benua,
Dan lupa akan diplomasi.

Tak ada lagi rasa benci pada siapa pun,
Agama apa pun, ras apa pun, dan bangsa apa pun,
Dan melupakan perang dan kebencian,
Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.

Tuhan - Saya mimpi tentang dunia tadi,
Yang tak pernah akan datang.

Soe Hoek Gie - 29 Oktober 1968 (CSD, terbitan LP3ES)


---------------------------------------------------------------------------


"Buat apa menghindar? Cepat atau lambat, suka atau tidak, perubahan hanya soal waktu. Semua boleh berubah, semua boleh baru, tapi satu yang harus dipegang; kepercayaan –Soe Hok Gie (Berjuang dalam perubahan)." 

---------------------------------------------------------------------------

"Suatu gerakan hanya mungkin berhasil bila dasar-dasar dari gerakan tersebut mempunyai akar-akarnya di bumi tempat ia tumbuh. Ide yang jatuh dari langit tidak mungkin subur tumbuhnya, hanya ide yang berakar ke bumi yang mungkin tumbuh dengan baik… (Soe Hok Gie- Di Bawah Lentera Merah)."

---------------------------------------------------------------------------

Hari ini aku lihat kembali. Wajah – wajah halus yang keras. Yang berbicara tentang kemerdekaan dan demokrasi dan bercita-cita menggulungkan tiran. Aku mengenali mereka. Yang tanpa tentara.Mau berperang melawan diktator. Dan yang tanpa uang. Mau memberantas korupsi. Kawan – kawan Kuberikan padamu cintaku. Dan manakah kau berjabat tangan. Selalu dalam hidup ini.

--------------------------------------------------------------------------

Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.
soe hok gie dari Catatan Seorang Demonstran

 -------------------------------------------------------------------------

ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekkah
ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi ke Miraza
tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku
bicara tentang anjing-anjing kita yang lucu
atau tentang bunga-bunga yang manis di Lembah Mendala Wangi

ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
tapi aku ingin mati di sisimu sayangku
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu
mari, sini sayangku

kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
tegaklah ke langit atau awan mendung
kita tak pernah menanamkan apa-apa
kita takkan pernah kehilangan apa-apa

Soe Hok Gie
1 April 1969
 -------------------------------------------------------------------------

Sebuah Tanya
Akhirnya semua akan tiba pada pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui.

Apakah kau masih selembut dahulu
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku.

(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah Mandalawangi.
kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra,
lebih dekat.
(Lampu-lampu berkelipan di Jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita)
Apakah kau masih akan berkata
kudengar derap jantungmu
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta
(Haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. Wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. Seperti kabut pagi itu)
Manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru




— Soe Hok Gie.

  -------------------------------------------------------------------------

 "Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrasi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung."

— Soe Hok Gie.
 ------------------------------------------------------------------------

Mandalawangi – Pangrango

Senja itu ketika matahari turun kedalam jurang-jurangmu
Aku datang kembali
Kedalam ribaanmu dalam sepimu dan dalam dinginmu.

Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku.

Aku cinta padamu Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta.

Malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan berbicara padaku tentang kehampaan semua.

Hidup adalah soal keberanian menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita mengerti tanpa kita bisa menawar
Terimalah dan hadapilah.

Dan diantara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua melampaui batas-batas hutanmu melampaui batas-batas
jurangmu.

Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup.


19/7/1966
Soe Hok Gie 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar