Minggu, Februari 07, 2010

Memburuknya Citra Perusahaan Jepang [Bag.2]

Sony mulai menghadapi masalah setelah salah dalam menilai beberapa tren pasar yang kritis. Sony lambat dalam memprediksi pasar TV LCD sehingga jauh tertinggal dari perusahaan Korea Selatan, Samsung Electronic Co. yang kini menjadi pemimpin pasar.

Setelah sukses dengan 'Walkman', pemutar musik portabel yang menjadi sukses global pada tahun 1980an, Sony lambat dalam memasuki pasar pemutar digital. Sony telah dipermalukan Apple oleh 'ipod'-nya dan gadget murah lainnya yang diproduksi negara2 Asia kompetitor.

Dengan kerajaan bisnis Sony yang meluas ke bidang finansial, perfilman, dan bisnis lainnya membuat sejumlah analisis berpendapat bahwa Sony telah kehilangan fokusnya.

Pada tahun 2006, Sony menarik hampir 10 juta batere laptopnya setelah beberapa diketahui dapat meledak.

Perusahaan masih menderita kerugian meski CEO, Howard Stringer, mendapat pujian karena telah membawa Sony kembali ke bisnis dasarnya.

Pada kasus JAL, masalah telah membusuk selama beberapa dekade namun terus ditutupi karena keengganan Jepang untuk membiarkan perusahaan besar ambruk.

JAL menjadi korban dari ambisinya sendiri. Ketika investasi berisikonya pada resort dan hotel luar negeri menjadi langkah buruk setelah gelembung saham & properti Jepang meletus pada awal tahun 1990.

Membengkaknya biaya pensiun dan gaji, begitu juga dengan rute penerbangan domestik yang tidak memberi profit namun secara politis dibutuhkan, membawa pemerintah untuk memberikan bail out.

"JAL punya reputasi yang bagus dalam kenyamanan penerbangan, namun pemborosan yang dilakukan dalam biaya operasional telah menjadikan JAL seperti 'lelucon' dalam dunia industri penerbangan.", ujar Peter Harbison dari Center for Asia Pasific Aviation yang berbasis di Sydney.

Kualitas juga yang membuktikan permasalahan, banyaknya masalah keselamatan penerbangan telah menodai citra JAL dan menguntungkan rivalnya, yaitu All Nippon Airways Co.

Dan ketika JAL menyatakan bangkrut dengan hutang senilai $ 25,6 miliar sebagai sesuatu yang memalukan, para analis memperkirakan JAL akan melakukan perampingan dan muncul kembali dengan keuangan yang lebih sehat.

Toyota juga akan kembali.

"Toyota melakukan ekspansi terlalu cepat dan hal tersebut berisiko", ujar Martin Schulz, ahli ekonomi pada Fujitsu Research Institute. Ia menambahkan: "Toyota akan menangani masalah kualitas ini dengan baik".

Di Jepang, reaksi pemberitaan Toyota tidak terlalu terdengar karena penarikan tidak mempengaruhi model2 yang dijual di pasar domestik. Orang Jepang sangat bangga dengan pengaruh besar Toyota di jalanan, termasuk andil dalam hal membuat mobil hybrid dan kendaraan ramah lingkungan lainnya.

Sejauh ini, reputasi Toyota sebagai pembuat mobil terbaik masih dipegang di negeri sendiri. Sebagian karena orang Jepang berasumsi bahwa produk buatan Jepang lebih baik daripada produk yang dibuat diluar Jepang.

Mobil Toyota yang dibuat di Jepang menggunakan 'parts' dari supplier yang berbeda dari Perusahaan CTS, perusahaan pembuat 'part' amerika yang menghasilkan produk cacat pada pedal gas.

Tetap saja, pemberitaan buruk yang gencar saat ini merusak pemikiran bahwa Jepang sebagai pusat teknologi dimana perusahaan2nya memimpin dunia walaupun masalah pelik yang dihadapi negara tersebut seperti: populasi yang bertambah usia, hutang yang menggunung, dan pertumbuhan ekonomi yang lesu.

"Toyota harus mengambil langkah mendesak untuk mendapatkan kembali kepercayaan konsumen", ditulis surat kabar 'Yomiuri' pada Editorialnya 31 Januari 2010.

"Bagi produsen dan pabrikan mobil lainnya, hal ini bukanlah masalah orang lain saja. Mereka harus tetap menjaga dalam ingatan mereka bahwa 'safety' dan 'quality'-lah yang menjadi dasar kepercayaan publik terhadap produk buatan Jepang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar