Dulu (udah lama) gw pernah posting mengenai sejarah Serbuan Pasukan Lintas Udara (Linud) di Dili 1975. Sebelum peristiwa tersebut sebetulnya ada cerita menarik yang melatarbelakanginya. Andaikan diangkat ke layar perak sih ini pasti keren banget.. kisah pertempurannya bisa dibuat epik macam series 'band of brothers' atau film 'saving private ryan'. Sedangkan operasi intelijennya bisa jadi film bertema 'spy' / mata2 pertama di Indonesia.. keren banget ga tuh.. :)
Jadi jaman dulu intelijen (BAKIN, sekarang BIN) bener2 melakukan tugas intelijen dengan sangat lihai. Mulai dari pengumpulan data / informasi, melakukan infiltrasi dan penggalangan opini/massa, pelatihan milisi, hingga kegiatan spionase atau mata2. Adalah rangkaian operasi intelijen: 'Operasi Komodo dan 'Operasi Kuta' yang menjadi prolog atau pendahuluan sebelum Operasi Seroja atau D-Day pendaratan pasukan amphibi dan lintas udara (airborne) untuk merebut kota Dili.
Kisahnya diambil dari buku Ken Conboy: INTEL: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia yang udah disarikan di blog militer adiewicaksono.wordpress.com/2009/03/20/operasi-komodo/ . Berikut disimak ceritanya:
Operasi Komodo
Semenjak awal kepemimpinan Yoga, wilayah koloni Portugis yang bernama
Timor semakin menjadi pusat perhatian. Tiga bulan sesudah ia memimpin
Bakin (sekarang BIN), sekelompok kecil perwira angkatan darat yang
membangkang berhasil menumbangkan pemerintahan Portugal yang dikenal
dengan nama Revolusi Bunga. Para pemimpin kudeta memprioritaskan
perundingan terbentuknya suatu persemakmuran yang memungkinkan Portugal
secara de facto keluar dari Afrika.
Perubahan kebijakan secara tiba-tiba ini berdampak besar pada Timor
Portugis. Sebagai koloni jauh yang lama terlupakan, penduduk asli Timor
secara tradisional apatis dengan politik. Tetapi, sejak terjadinya
Revolusi Bunga, sentimen rakyat Timor mulai bergolak ketika pejabat
Portugis mencabut larangan tentang pembentukan partai politik
pribumi.Ada tiga pilihan yang terbentuk bagi rakyat Timor: bergabung
dengan persemakmuran yang digagas Portugis, meminta kemerdekaan penuh
atau bergabung dengan Indonesia.
Bagi dinas intelijen Indonesia, Bakin hanya sekali menaruh perhatian
terhadap koloni ini (kasus Vitaly Yevgenyevich Lui). Tetapi ketika
Lisbon mempertimbangkan kembali hubungannya dengan koloninya itu, Timor
Portugis tiba-tiba menjadi prioritas Bakin. Terutama ketika pada Juni
1974, pemimpin Apodeti (partai yang mendukung Timor Portugis menjadi
bagian dari Indonesia) menyebrang perbatasan menuju Timor Barat dan
meminta waktu untuk bertemu dengan para pemimpin puncak intelijen
Indonesia.
Kelompok ini dibawa ke Jakarta dan dipertemukan dengan Deputi III Ali Moertopo. Setelah menemui delegasi ia memerintahkan Kol. A. Sugiyanto untuk mengunjungi Dili, dalam sebuah misi pencarian fakta. Pada bulan Juli, Sugiyanto menerima visa kunjungan dari konsulat Portugis di Jakarta. Dalam perjalanan ini ia menyamar sebagai seorang pejabat pemasaran sebuah perusahaan fiktif, dengan penyamaran ini ia rutin setiap bulan mengunjungi Timor Portugis. Tujuan utamanya untuk mendapatkan informasi intelijen tentang kiprah partai politik di Timor dan mengenal para pemimpinnya.
Kelompok ini dibawa ke Jakarta dan dipertemukan dengan Deputi III Ali Moertopo. Setelah menemui delegasi ia memerintahkan Kol. A. Sugiyanto untuk mengunjungi Dili, dalam sebuah misi pencarian fakta. Pada bulan Juli, Sugiyanto menerima visa kunjungan dari konsulat Portugis di Jakarta. Dalam perjalanan ini ia menyamar sebagai seorang pejabat pemasaran sebuah perusahaan fiktif, dengan penyamaran ini ia rutin setiap bulan mengunjungi Timor Portugis. Tujuan utamanya untuk mendapatkan informasi intelijen tentang kiprah partai politik di Timor dan mengenal para pemimpinnya.
Seperti kata Sugiyanto “Saya akan dijemput di Bandara Dili oleh wakil
Apodeti. Sesudah berbicara dengan mereka, kemudian saya menuju hotel
dan bertemu dengan pendukung persemakmuran Portugis sambil minum kopi.
Malamnya saya akan makan malam dengan mereka yang mendukung kemerdekaan.
Begitulah jadwal saya setiap kali berkunjung”.
Sementara Sugiyanto sibuk mengunjungi Dili, pada kuartal ketiga 1974
Moertopo telah membentuk suatu operasi intelijen yang lebih luas untuk
Timor dan diberi nama Komodo. Dari informasi intelijen yang dikumpulkan
Komodo. Operasi bertujuan untuk membentuk jaringan kecil agen lintas
batas dan memberi pelatihan militer kepada ratusan pemuda yang dikirim
oleh pemimpin Apodeti. Lampu peringatan menyala di Jakarta pada akhir
tahun. Sebagian, ini disebabkan adanya kecenderungan kekiri-kirian yang
ditunjukkan orang Timor yang mendukung kemerdekaan. Pada September 1974,
pergolakan kedua yang dilancarkan oleh perwira muda mengambil alih
pemerintahan di Lisbon. Mereka menginginkan pemisahan dengan cepat dan
menyeluruh terhadap semua koloni Portugal. Januari 1975, Angola mendapat
kemerdekaan dari Portugal dan diperkirakan Timor Portugis mendapat
perlakuan yang sama dari Portugal.
Menanggapi kejadian-kejadian ini para penasehat keamanan Suharto
terpecah. Walaupun khawatir Timor Portugis akhirnya akan diserahkan
kepada partai politik yang anti Indonesia- dan terutama komunis- tetapi
mereka segan melancarkan operasi terbuka. Moertopo terutama tetap
menyarankan dilakukannya operasi bawah tanah guna mempengaruhi penduduk
Timor dan pejabat Portugis. Pada bulan Januari itu pula, Komodo
memperluas operasinya dengan memulai siaran radio dalam berbagai dialek
Timor dari Kupang.
Tetapi banyak jenderalnya yang senang bertempur. Sebagai seorang
perwira intelijen senior pada Dephankam,Benny Moerdani menyetujui suatu
operasi tandingan -bersandi flamboyan- guna memberi militer suatu
dukungan intelijen tempur taktis pada saat Indonesia memutuskan campur
tangan militer.
Berdasarkan pertimbangan terakhir, operasi komodo semakin
ditingkatkan intesitasnya pada bulan Maret. Sebagian dari rencananya
dipusatkan untuk menyalurkan dukungan politik rahasia kepada Apodeti.
Pada saat yang bersamaan Sugiyanto berkunjung ke Dili dan bermaksud
untuk memecah belah partai yang mendukung kemerdekaan. Dalam upaya
menggabungkan jalan terpisah namun masih sejalan, Kol. Dading -pimpinan
operasi flamboyan- mengambil alih pengawasan program pelatihan Apodeti.
Pada akhir April, sekelompok anggota pasukan khusus tiba diperbatasan
dan mulai memberi latihan militer.
Ketika, pemandangan politik di Timor menjadi tidak menentu, dan
mencapai puncaknya pada 9 Agustus 1975 saat salah satu faksi mengambil
alih Dili, mencuri senjata dari gudang persenjataan polisi dan menyerang
kedua partai lainnya. Kejadian ini membuat Lisbon mengirimkan Mayor
Antonio Soares guna melakukan penilaian situasi dan menyampaikan
pengarahan dari Lisbon.
Operasi Kuta
Pada 14 Agustus, Mayor Soares tiba dijakarta untuk transit satu hari sebelum menuju Dili via Kupang. Bakin bergegas mengerahkan Satsus intel melakukan pengintaian. Data di kartu kedatangan menyebutkan ia bermalam di Hotel Borobudur. Setibanya di Hotel Borobudur, ternyata Soares telah beristirahat dikamar. Aparat Indonesia tidak mengetahui dengan jelas tujuan kunjungan ini, tetapi beranggapan bahwa ia membawa dokumen-dokumen sensitif. Agar dapat melihat isi dokumen ini, mereka merencanakan memasukkan obat pembuat mulas ke dalam air minumnya. Pada saat obat bekerja, maka ia akan meninggalkan kamar mencari dokter dan satsus Intel dapat masuk ke kamarnya. Namun walaupun air minum telah dikirim, sang mayor tidak merasa mulas.
Keesokan harinya, Mayor Soares meninggalkan Jakarta menuju Bali.
Benny yang sangat penasaran ingin mengetahui isi tas kerja sang mayor,
menugaskan Kol. Dading untuk mendapatkan akses. Ia memberi tiga pilihan:
mengambil secara paksa, melakukan penodongan pura-pura atau melakukan
aksi sulap. Malam itu juga Dading meninggalkan Jakarta membuntuti Soares
bersama empat orang anggotanya: seorang mayor dari tim Operasi
Flamboyan dan tiga orang dari Satsus Intel, yang terdiri dari ahli
fotographi, seorang anggota seksi sensor yang cakap membuka amplop
tertutup dan tersegel dan seorang agen lapangan.
Keesokan harinya Soares datang check in bersama dua kopernya yang
berat-berat. Anggota satsus Intel yang menyamar menjadi Kepala Cabang
maskapai yang ditumpangi Soares, sebut saja namanya Hamzah, dengan
sengaja mengatakan bahwa tiket sang Mayor harus disahkan dulu oleh
pejabat imigrasi sebelum diizinkan naik pesawat menuju Kupang. Soares
menjadi marah tetapi Hamzah tetap bergeming dan bersedia menemani Soares
menuju pejabat imigrasi.
Setelah menempuh perjalanan menuju kantor imigrasi, Soares
dipersilahkan masuk ke ruang kerja pejabat imigrasi tersebut. Sebelum
masuk, Hamzah menyarankan agar kedua koper yang dibawa sang mayor
ditinggalkan saja dan akan diawasi oleh dua orang petugas bersenjata,
yang disetujui oleh Soares.
Setelah Soares masuk kedalam ruangan pejabat imigrasi, Satsus Intel
segara beraksi, Hamzah mengeluarkan kemampuannya membuka koper.
Didalamnya terdapat sepasang bundel tebal, yang dibuka oleh ahli sensor
dan didalamnya terdapat peta, catatan dan perintah-perintah rahasia.
Semuanya difoto oleh anggota Satsus Intel.
Tanggal 17 Agustus, Dading dan anggota timnya kembali ke Jakarta.
Dokumen yang ada di dua bundelan itu mengkonfirmasikan bahwa Portugal
berniat untuk melepaskan dan pergi begitu saja. Salah satu surat penting
memerintahkan agar sang Gubernur Militer mengungsikan semua pasukan
Portugis ke Ilhe de Atauro- Pulau Kambing- enam belas kilometer di utara
Portugis.
Dengan telah diketahui sebelumnya keputusan Portugis untuk
meninggalkan koloninya, jakarta serta merta kehilangan kesabarannya.
Pada 23 Agustus, petugas-petugas Konsulat Indonesia di Dili diungsikan
melalui laut. Pada akhir bulan itu, personel pasukan khusus yang
ditugaskan di Flamboyan mendapat izin memulai serangan militer lintas
batas. Sementara agen-agen lapangan komodo tetap menjalankan pendekatan
tak langsung mereka, pihak-pihak yang agresif di kepemimpinan puncak
militer terus-menerus mengirimkan telegram yang tampaknya memastikan
bahwa serangan militer hal yang tak terhindari lagi.
Ketika serangan militer terbuka akhirnya dilancarkan pada bulan
Desember, peran Bakin di Timor menurun menjadi sesuatu yang tak lebih
dari catatan kaki saja.
----------------------------------
Operasi Seroja sendiri kemudian terdiri dari gabungan antara pendaratan amphibi (penyerbuan pantai) pasukan marinir dan penerjunan pasukan TNI-AD dan TNI AU.
Gugus Tugas Ampibi Operasi Seroja yang terdiri atas KRI
Martadinata(342) yang bertugas sebagai pemberi bantuan tembakan pada
operasi pendaratan Batalion Tim Pendarat (BTP 5)/Infanteri Marinir, KRI
Ratulangi (400) sebagai kapal komando, KRI Barakuda (817), sebagai kapal
buru kapal selam, KRI Teluk Bone (511) sebagai kapal pengangkut
BTP5/Infanteri Marinir dan tank ampibi (PT76 & BTR-50) yang akan
didaratkan, KRI Jayawijaya (921) sebagai kapal bengkel yang berfungsi
sebagai kapal pendukung, dan terakhir KRI Sorong (911) sebagai kapal
tanker.
Lewat udara ada Gugus Rajawali Flight ( terdiri dari 9
pesawat Hercules TNI AU). Operasi lintas udara terdiri dari pasukan TNI Angkatan Darat dari komponen Kostrad (Linud) dan Kopasandha (cikal bakal Kopasus) dan pasukan Angkatan Udara yaitu Kopasgat (cikal bakal Korps Paskhas).
Setidaknya dibutuhkan waktu 7 jam hingga kota Dili dapat direbut pasukan Indonesia.
--------------------------------------------------
Jadi kesimpulannya waktu itu Pemerintah Indonesia sebenernya gemes sama Pemerintah Kolonial Portugis yang mau seenaknya aja lari meninggalkan Timor Leste yang kondisinya sedang carut marut / konflik antar partai yang berujung dengan perselisihan bersenjata (perang saudara).
Di sisi lain, kekhawatiran terhadap fretilin yang memperjuangkan kemerdekaan negara Timor Leste yang beraliran kiri (sosialis/komunis) membuat Amerika Serikat sendiri memberikan restu kepada Indonesia untuk melakukan 'aneksasi' Timor Timur menjadi propinsi Indonesia yang ke 27. Tujuan utamanya jelas untuk membendung pengaruh golongan kiri (komunis), maklum aja, saat itu ketegangan blok barat dan timur antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet sedang tinggi2nya.
Amerika emang cuma ngasih bantuan sebatas penyediaan peralatan militer buat Indonesia dalam operasi tersebut, ibaratnya mereka mau 'tangannya tetep bersih' atau keliatan tidak terlalu terlibat tapi menyetujui operasi yang dilakukan Indonesia. PBB saat itu juga sebenernya ngeluarin resolusi supaya Indonesia segera menarik mundur pasukan tapi tau sendiri kan ada back up Amerika Serikat. Dewan Keamanan PBB (UN Security Council) saat itu juga ga bertindak lebih jauh atas aksi Indonesia.
Alasan Indonesia saat itu adalah untuk melindungi rakyat Timor Timur dari perang saudara dan dianggap banyak rakyat Timor Timur yang ingin menjadi bagian dari Indonesia. Setidaknya ada 4 partai yaitu APODETI, UDT, KOTA, dan Trabalista yang mendukung kalo Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia.
Di akhir cerita, Perang Dingin usai dan Amerika Serikat pun udah ga peduli lagi. PBB pun memerintahkan pelaksanaan referendum (jajak pendapat) yang juga disponsori oleh pemerintah Australia. Pemerintahan Presiden Habibie melalui Menlu, Ali Alatas sendiri menyatakan bahwa Timor Timur cuma menjadi 'kerikil dalam sepatu' alias pengganjal diplomasi luar negeri Indonesia dan lebih banyak rugi daripada untungnya bagi kita punya Timor Timur sebagai propinsi paling muda. Walaupun bagi para veteran pejuang seroja, persetujuan Presiden Habibie terhadap pelaksanaan referendum dianggap kurang menghargai perjuangan mereka dulu.
Hasilnya rakyat Timor Timur menyatakan ingin menjadi negara merdeka hingga sekarang akhirnya menjadi Timor Leste yang berdaulat.
Jadi sudahlah.. yang lalu biarlah berlalu menjadi sejarah.. toh di pembukaan UUD 1945 kita menyebutkan mendukung Perdamaian Dunia dan menyatakan penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan.. ya kan.? :D
Kalo soal Papua gimana.?
menurut gw ya hampir sama kasusnya seperti Timor Leste ini, kuncinya ada di Amerika Serikat juga. Selama AS masih punya kepentingan disana dan 'butuh' kehadiran Indonesia di Papua (clue: Freeport) maka selama itu juga Papua akan direstui menjadi bagian dari Indonesia. Terdengar pahit? begitulah kenyataannya..
Cara yang paling baik menumpas Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebenernya bukan lewat militer, tapi gimana membuat rakyat Papua bisa sejahtera, karena dengan pembangunan disana akan dengan sendirinya membuat rakyat Papua merasa menjadi bagian dari rakyat Indonesia juga.
Melalui otonomi khusus sebetulnya Pemerintah Indonesia udah berusaha memberikan kebijakan yang lebih baik buat
Papua. Dana triliunan sudah digelontorkan pemerintah untuk mempercepat
pembangunan (dalam APBN 2013 Dana Otsus dianggarkan 6,2 Triliun, belom Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum yang jumlahnya Triliunan juga). Dengan kebijakan desentralisasi saat ini sebenernya kiprah putra
daerah melalui pemda harapannya bisa mengangkat kesejahteraan masyarakat
disana, tapi ya lagi2 penyakit di semua daerah, KKN di lingkungan pemda
di seluruh Indonesia keknya masih merajalela.
Sedangkan langkah pemerintah melalui rencana pembangunan pembangkit listrik PLN di daerah lembah Baliem yang merupakan PLTA terbesar di Papua dan juga pembangunan pabrik semen (dilaksanakan oleh PT. Semen Gresik) menurut gw udah dijalur yang benar. Infrastruktur emang modal dasar pembangunan yang harusnya dari dulu dijalankan disana. Setelah itu mungkin bisa dipikirkan gimana membangun jaringan transportasi darat (jalan raya, jembatan, dan kereta) untuk memperlancar arus distribusi barang dan mobilitas penduduk sehingga diharapkan dapat menurunkan harga kebutuhan pokok dan mendorong peningkatan taraf kehidupan perekonomian masyarakat. Bukan hal mudah mengingat bentang alam Papua yang terdiri dari medan pegunungan, sungai, rawa dan hutan belantara.
Loh dari cerita Timor Leste jadi mbleber ngomongin Papua.. hehe..
ya sekian deh.. opini gw tentang Papua anggep aja cuma sisipan tambahan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar