Suatu siang yang terik di alun-alun kota Kediri. Ribuan orang berjejal memenuhi alun-alun, menimbulkan suasana hiruk pikuk. Mereka berdiri berdesakan mengelilingi alun-alun dan membuat arena dalam bentuk lingkaran besar, sedangkan orang yang berdiri bersiap ke belakang.
Sedangkan yang berdiri di barisan paling depan masing-masing memegang tumbak yang runcing. Semuanya bersikap siaga, berdiri tegak dengan pandangan tajam mengawasi si macan tutul yang berlarian di tengah arena. Jika si harimau lari ke Timur, dihalau ke Barat, dengan sendirinya sambil ditusuk dengan ujung tombak yang runcing dan tajam. Para penonton pun bersorak sorai riuh sekali, seperti membelah bumi dan meruntuhkan langit tanggal 1 Syawal, sekitar pukul dua belas siang.
Tidak berapa lama macan tutul tadi sudah luka parah dijadikan sasaran ribuan tombak. Ada yang langsung mati dengan luka tak terhitung jumlahnya, mirip Abimanyu ketika menjadi Senapati saat Perang Baratayuda Jayabinangun, saat dikeroyok para Kurawa dan akhirnya gugur dengan terluka parah.
Namun demikian, ada juga harimau yang lolos dan selamat dari kepungan tombak, kemudian melarikan diri dari arena. Jika terjadi demikian, para penonton makin riuh, lari ke sana kemari untuk menyelamatkan diri. Yang tidak memegang tombak berlarian tanpa arah, berusaha jangan sampai menjadi mangsa harimau.
Begitulah gambaran secara singkat saat merayakan Hari Raya Lebaran atau yang dalam bahasa Jawa disebut Bakda, pada zaman kuno, sekitar tahun 1890-an sampai dengan 1900-an*. Tradisi menombak harimau itu biasa disebut ngrampog.
Sedangkan yang berdiri di barisan paling depan masing-masing memegang tumbak yang runcing. Semuanya bersikap siaga, berdiri tegak dengan pandangan tajam mengawasi si macan tutul yang berlarian di tengah arena. Jika si harimau lari ke Timur, dihalau ke Barat, dengan sendirinya sambil ditusuk dengan ujung tombak yang runcing dan tajam. Para penonton pun bersorak sorai riuh sekali, seperti membelah bumi dan meruntuhkan langit tanggal 1 Syawal, sekitar pukul dua belas siang.
Tidak berapa lama macan tutul tadi sudah luka parah dijadikan sasaran ribuan tombak. Ada yang langsung mati dengan luka tak terhitung jumlahnya, mirip Abimanyu ketika menjadi Senapati saat Perang Baratayuda Jayabinangun, saat dikeroyok para Kurawa dan akhirnya gugur dengan terluka parah.
Namun demikian, ada juga harimau yang lolos dan selamat dari kepungan tombak, kemudian melarikan diri dari arena. Jika terjadi demikian, para penonton makin riuh, lari ke sana kemari untuk menyelamatkan diri. Yang tidak memegang tombak berlarian tanpa arah, berusaha jangan sampai menjadi mangsa harimau.
Begitulah gambaran secara singkat saat merayakan Hari Raya Lebaran atau yang dalam bahasa Jawa disebut Bakda, pada zaman kuno, sekitar tahun 1890-an sampai dengan 1900-an*. Tradisi menombak harimau itu biasa disebut ngrampog.
Ketika tradisi rampogan ini dikerjakan, masih banyak ditemukan harimau di hutan-hutan. Harimau-harimau tadi sering mengganggu petani karena sering makan hewan ternak, terkadang juga memangsa manusia. Karena itu para pejabat atau penguasa memerintahkan menangkap harimau yang merugikan petani tersebut.
rampogan di alun-alun kediri tahun 1895, foto : KITLV |
Bahkan jika perlu dibunuh. Yang bisa menangkap sekaligus membunuh harimau akan diberi hadiah sepuluh sampai dengan lima puluh gulden, tergantung besar atau kecilnya si macan.
Untuk merayakan Hari Lebaran setelah berpuasa sebulan penuh, zaman dulu hampir di seluruh kabupaten di jawa umumnya mengadakan berbagai macam keramaian. Ibaratnya, semua penduduk hadir di alun-alun, menonton keramaian menyambut Lebaran. Berhubung Idul Fitri merupakan Hari Raya yang hanya sekali dalam setahun, maka saat eksekusi terhadap harimau yang tertangkap tadi dijatuhkan bersamaan dengan jatuhnya Hari Pertama Idul Fitri, atau tepatnya tanggal 1 Syawal, sekaligus dijadikan tontonan atau hiburan.
Untuk itu sejak bulan Ruwah dan Puasa desa-desa di sekitar hutan sudah mulai memasang jerat atau perangkap di hutan dengan maksud untuk menangkap harimau. Biasanya diberi umpan kambing atau anjing. Harimau yang tertangkap kemudian dikurung, sampai saatnya dipergunakan.
Setelah dikurung dalam waktu yang tidak terlalu lama, harimau atau macan tutul tadi dibuat bancakan, ditusuk tumbak dari berbagai arah.
Ketika ada rampogan, di pekarangan yang berdekatan dengan alun-alun-alun, dibuatkan kandang macan yang terbuat dari ruyung (pohon aren/kelapa) atau besi ukuran 2 X 2 X 2 M, yang diatur berjajar. Tentu saja kandang tadi dijaga siang malam.
Harimau yang besar, kandangnya terbuat dari ruyung. Alasannya, supaya harimau tidak bisa keluar dari krangkeng karena takut terselusup (tlusupen, Jawa) ruyung. Sebaliknya, jika hanya menggunakan besi, meski besarnya sebesar tangkai sabit, tetap bisa dijebol. Kandang tadi dipasangi pintu seperti pintu bagasi mobil, sedang bagian atas diberi atap yang terdiri atas 2 bagian papan yang menjadi atapnya.
Untuk merayakan Hari Lebaran setelah berpuasa sebulan penuh, zaman dulu hampir di seluruh kabupaten di jawa umumnya mengadakan berbagai macam keramaian. Ibaratnya, semua penduduk hadir di alun-alun, menonton keramaian menyambut Lebaran. Berhubung Idul Fitri merupakan Hari Raya yang hanya sekali dalam setahun, maka saat eksekusi terhadap harimau yang tertangkap tadi dijatuhkan bersamaan dengan jatuhnya Hari Pertama Idul Fitri, atau tepatnya tanggal 1 Syawal, sekaligus dijadikan tontonan atau hiburan.
Untuk itu sejak bulan Ruwah dan Puasa desa-desa di sekitar hutan sudah mulai memasang jerat atau perangkap di hutan dengan maksud untuk menangkap harimau. Biasanya diberi umpan kambing atau anjing. Harimau yang tertangkap kemudian dikurung, sampai saatnya dipergunakan.
Setelah dikurung dalam waktu yang tidak terlalu lama, harimau atau macan tutul tadi dibuat bancakan, ditusuk tumbak dari berbagai arah.
Ketika ada rampogan, di pekarangan yang berdekatan dengan alun-alun-alun, dibuatkan kandang macan yang terbuat dari ruyung (pohon aren/kelapa) atau besi ukuran 2 X 2 X 2 M, yang diatur berjajar. Tentu saja kandang tadi dijaga siang malam.
Harimau yang besar, kandangnya terbuat dari ruyung. Alasannya, supaya harimau tidak bisa keluar dari krangkeng karena takut terselusup (tlusupen, Jawa) ruyung. Sebaliknya, jika hanya menggunakan besi, meski besarnya sebesar tangkai sabit, tetap bisa dijebol. Kandang tadi dipasangi pintu seperti pintu bagasi mobil, sedang bagian atas diberi atap yang terdiri atas 2 bagian papan yang menjadi atapnya.
kandang macan pada rampogan macan di blitar 1880 |
Bersamaan dengan keramaian rampogan, arena yang luas di alun-alun dikelilingi ribuan orang, yang berdiri tegak memegang tumbak. Semua mata tertuju ke kandang macan. Dengan peralatan yang dapat menarik pintu ke arah atas, maka tatkala tali ditarik dari kejauhan, kerangkeng itu akan rusak berantakan, dan menimpa harimau di dalamnya. Karena terkejut, harimau lari keluar, yang akan disambut dengan ribuan tombak yang runcing. Inilah yang disebut rampogan, atau dengan kata lain membunuh harimau dengan cara dirampog atau dikeroyok dengan ribuan senjata.
Menjelang pukul delapan para penggede atau priyayi bersiap dengan berdandan habis-habisan, memakai kampuh dan kuluk, duduk lesehan, masing-masing membawa tikar atau alas duduk. Sekitar pukul delapan tiga puluh, secara serentak para pembesar tadi masuk ke Paseban (tempat untuk menghadap para pembesar) dan menggunakan payung untuk berlindung dari terik matahari. Perjalanan mereka diiringi dengan Gendhing Monggang.
Di Paseban para pembesar tadi diterima oleh sang Bupati dengan salam selamat datang. Sedangkan para pembesar dari negeri seberang menyampaikan penghormatan kepada Bupati, kemudian dilanjutkan dengan arak*-arakan encek yang mengelilingi arena dan berhenti di depan pendapa.
Acara dilanjutkan dengan membawa hidangan dari pendopo Kabupaten yang selanjutnya diserahkan kepada Pengulu di Masjid, untuk diadakan doa selamat. Setelah acara selesai, para pembesar kembali ke peristirahatan untuk berganti baju keprajuritan.
Mereka memakai celana, jas tutup hitam yang biasa digunakan untuk menghadap bupati (sikep), ikat kepala (udheng) dan topi pet, membawa keris dan selanjutnya diselipkan di punggung; kemudian mencari tempat duduk sesuai dengan golongan, wilayah, dan kedudukannya, di sekitar Beringin Kurung.
Sedang para tamu dari negeri seberang, Nyonya dan Tuan, para bangsawan putri, nonton dari atas panggung. Setelah barisan priyayi tadi keluar dari mesjid, para lurah sudah bersiaga dalam barisan sesuai dengan tempatnya. Semua menancapkan tumbaknya ke tanah, berjajar dengan jarak sekitar 30 sentimeter, mengelilingi arena hingga empat atau lima lapis.
Tombak yang tangkainya pendek diletakkan di depan, yang tangkainya panjang di belakang. Pukul sebelas, bupati, patih, dan mantri kabupaten serentak masuk barisan. Bupati mengendarai kuda abu-abu, menerabas untuk memundurkan barisan yang terlalu maju. Setelah semua siap dan tertata rapi, sang Bupati naik ke atas panggung bersama para tamu. Hal tersebut merupakan isyarat bahwa rampogan segera dimulai.
Di antara barisan di beringin kurung dan barisan di pinggir ada peti kayu dengan panjang sekitar 1,5 meter, dengan tinggi sekitar 60 sentimeter, ditata menghadap keluar, membelakangi barisan dalam. Itulah kerangkeng harimaunya, yang masih terkunci dengan dipantek bambu, ditutup dengan papan, diberi pengait panjang hampir mencapai Beringin Kurung. Tukang melepas harimau yang disebut gandek juga sudah bersiaga di barisan bagian dalam.
Tepat pukul dua belas, gandek diberi isyarat untuk melepas harimau. Biasanya, yang dikukuhkan menjadi gandek adalah Kepala Desa yang pemberani dalam menghadapi macan. Setelah menyembah Bupati, gandek naik ke atas kerangkeng, menebas pantek bambu. Setelah selesai, ia turun dan masuk ke dalam barisan.
Selanjutnya tali ditarik, kerangkeng-kerangkeng berantakan papan penutupnya, jatuh menimpa si harimau. Si harimau menengok ke kanan dan ke kiri, mungkin karena silau, atau pusing karena kejatuhan papan. Bahkan, ada harimau yang lucu, keluar dari kerangkeng hanya terbengong sekitar lima menit, berjalan pelan, termenung sebentar kemudian menguap, termenung lagi, bergulung-gulung di rerumputan, terlentang, berpanas matahari.
Orang-orang yang menonton bersorak-sorak gegap gempita, dengan maksud agar harimau segera lari menerabas barisan tombak. Jika harimau tidak menghiraukan, kemudian ada yang melempar kembang api, didatangi, digoda serta diacungi tombak.
Ada suatu kejadian di Blitar. Kebetulan harimaunya galak, ditangkap dari hutan Lodaya. Namun karena Bupati Blitar memiliki senjata berupa cemeti yang ampuh, harimaunya menjadi jinak, bisa diajak bermain seperti anak kucing yang digoda dengan bulu.
Di Paseban para pembesar tadi diterima oleh sang Bupati dengan salam selamat datang. Sedangkan para pembesar dari negeri seberang menyampaikan penghormatan kepada Bupati, kemudian dilanjutkan dengan arak*-arakan encek yang mengelilingi arena dan berhenti di depan pendapa.
Acara dilanjutkan dengan membawa hidangan dari pendopo Kabupaten yang selanjutnya diserahkan kepada Pengulu di Masjid, untuk diadakan doa selamat. Setelah acara selesai, para pembesar kembali ke peristirahatan untuk berganti baju keprajuritan.
Mereka memakai celana, jas tutup hitam yang biasa digunakan untuk menghadap bupati (sikep), ikat kepala (udheng) dan topi pet, membawa keris dan selanjutnya diselipkan di punggung; kemudian mencari tempat duduk sesuai dengan golongan, wilayah, dan kedudukannya, di sekitar Beringin Kurung.
Sedang para tamu dari negeri seberang, Nyonya dan Tuan, para bangsawan putri, nonton dari atas panggung. Setelah barisan priyayi tadi keluar dari mesjid, para lurah sudah bersiaga dalam barisan sesuai dengan tempatnya. Semua menancapkan tumbaknya ke tanah, berjajar dengan jarak sekitar 30 sentimeter, mengelilingi arena hingga empat atau lima lapis.
Tombak yang tangkainya pendek diletakkan di depan, yang tangkainya panjang di belakang. Pukul sebelas, bupati, patih, dan mantri kabupaten serentak masuk barisan. Bupati mengendarai kuda abu-abu, menerabas untuk memundurkan barisan yang terlalu maju. Setelah semua siap dan tertata rapi, sang Bupati naik ke atas panggung bersama para tamu. Hal tersebut merupakan isyarat bahwa rampogan segera dimulai.
Di antara barisan di beringin kurung dan barisan di pinggir ada peti kayu dengan panjang sekitar 1,5 meter, dengan tinggi sekitar 60 sentimeter, ditata menghadap keluar, membelakangi barisan dalam. Itulah kerangkeng harimaunya, yang masih terkunci dengan dipantek bambu, ditutup dengan papan, diberi pengait panjang hampir mencapai Beringin Kurung. Tukang melepas harimau yang disebut gandek juga sudah bersiaga di barisan bagian dalam.
Tepat pukul dua belas, gandek diberi isyarat untuk melepas harimau. Biasanya, yang dikukuhkan menjadi gandek adalah Kepala Desa yang pemberani dalam menghadapi macan. Setelah menyembah Bupati, gandek naik ke atas kerangkeng, menebas pantek bambu. Setelah selesai, ia turun dan masuk ke dalam barisan.
Selanjutnya tali ditarik, kerangkeng-kerangkeng berantakan papan penutupnya, jatuh menimpa si harimau. Si harimau menengok ke kanan dan ke kiri, mungkin karena silau, atau pusing karena kejatuhan papan. Bahkan, ada harimau yang lucu, keluar dari kerangkeng hanya terbengong sekitar lima menit, berjalan pelan, termenung sebentar kemudian menguap, termenung lagi, bergulung-gulung di rerumputan, terlentang, berpanas matahari.
Orang-orang yang menonton bersorak-sorak gegap gempita, dengan maksud agar harimau segera lari menerabas barisan tombak. Jika harimau tidak menghiraukan, kemudian ada yang melempar kembang api, didatangi, digoda serta diacungi tombak.
Ada suatu kejadian di Blitar. Kebetulan harimaunya galak, ditangkap dari hutan Lodaya. Namun karena Bupati Blitar memiliki senjata berupa cemeti yang ampuh, harimaunya menjadi jinak, bisa diajak bermain seperti anak kucing yang digoda dengan bulu.
Ada lagi versi lain. Jika harimaunya sudah tua, kadang memberikan firasat dalam mimpi. Kalau saja ia akan dirampog, ia akan merusak orang se negara. Jika ada kasus semacam ini, si harimau dibawa ke kebun binatang atau direndam di dalam air sampai tenggelam, supaya mati.
Kadang-kadang harimau itu tak mau lari juga, hanya termenung di depan tombak yang ampuh. Kata orang, harimau semacam itu memang minta diruwat atau dibunuh. Tetapi jika harimaunya lari menerjang barisan, orang yang dituju si macan harus siaga dengan tombak, badan agak miring, kaki kakan di belakang untuk menyangga tubuh, tangan kiri memegang tengah tangkai yang berfungsi sebagai landasan, sedang tangan kanan memegang pangkal, menggerakkan arah tombak.
Gerak-gerik orang yang menjadi peserta rampogan beraneka macam. Ada yang pemberani, ada yang penakut, atau kemudian lemas ketakutan bahkan juga yang lari tunggang langgang, tombaknya terseret-seret sepanjang jalan.
Harimau berhasil lolos. Jika ada harimau besar berhasil mati dirampog dan tidak berhasil meloloskan diri, gandheknya mendapat pujian, ia menari-nari di tengah alun-alun, disoraki banyak orang. Rampogan macan akan lebih ramai dan asyik justru jika ada harimau yang berhasil lolos dan keluar dari arena.
Tingkah laku manusia di alun-alun ribut tak karuan. Ada yang kehilangan anak, kehilangan teman, ada yang mendapat kecelakaan, bahkan ada yang mencopet perhiasan penonton.
Di Kediri pernah ada rampog yang berhasil lolos, karena harimaunya masih segar dan liar lantaran baru saja tertangkap. Saat lepas, dia lari dengan cepat, ekornya tegak menantang lan menerjang pasukan. Ketika dijemput dengan tombak dia justru meloncat dan menjatuhkan diri serta menimpa orang yang berada di lapis depan. Enam orang yang ditubruk tentu saja luka berdarah terkena cakaran harimau. Sementara itu, peserta rampog yang lain melarikan diri sambil membawa tombak, tidak peduli dengan nasib orang lain, bahkan ada yang menabrak dagangan orang sehingga langsung berantakan seketika. Si macan kemudian bersembunyi di bawah bangku tempat orang berjualan. Penjualnya berteriak-teriak, kemudian memukuli bangkunya dengan pikulan. Akhirnya si harimau mati dikroyok tombak orang banyak.
Ada lagi kejadian lucu. Ketika harimaunya berhasil lolos, ada orang yang nekat mencari kesempatan dalam kesempitan dengan menggerayangi tubuh seorang perempuan. Ketika ketahuan polisi, orang tersebut dipukul dengan pedhang yang masih bersarung. Karena banyak yang mengira bahwa orang tersebut pencopet, ia kemudian dikeroyok hingga pingsan. Ketika orang itu sudah hampir mati, barulah ia ditolong, diangkat seperti orang mengangkat babi hutan. Nah, ketika para pemikulnya meloncati sungai kecil, mereka pura-pura terpeleset, dan orang yang digotong jatuh ke sungai.
Di Blitar ada kejadian yang memilukan. Walau terluka perutnya karena tusukan tombak, si harimau sempat lolos dan naik ke pohon beringin. Dengan sendirinya orang-orang yang juga memanjat beringin banyak yang turun merosot ke bawah untuk menyelamatkan diri. Salah seorang di antaranya adalah seorang Cina. Begitu tahu harimaunya memanjat pohon, iapun nekat meloncat turun.
Begitu sampai di tanah ia langsung pingsan, kepalanya bermandikan darah, karena kulit kepalanya terkelupas. Rupanya, kuncirnya yang panjang itu sebelumnya telah diikatkan pada sulur beringin oleh seorang anak yang usil. Waktu itu, memang para Cina masih menguncir rambutnya, tidak model pendek seperti sekarang ini.
Sekitar pukul 14.00 rampogan sudah selesai. Kalau sudah begitu, banyak orang menyesali tombaknya. Katanya, tombaknya takut macan, baru diarahkan saja si tombak sudah letoi, mlungker. Kepercayaan orang waktu itu, memang ada tombak yang penakut.
Sambil memukuli si tombak, orang tersebut mengomel, “Tombak macam apa ini, disayang-sayang, dihormati, dan dikutuki (dibakarkan kemenyan) setiap hari Jumat, tapi saat dibawa ngrampog kok memalukan. Baru lihat gerak-gerik macan saja, sudah letoi. Awas ya, jika sudah sampai di rumah akan kugadaikan kamu!”, begitu omelnya kepada si tombak miliknya.
Menurut kepercayaan orang-orang di masa itu, ampuh tidaknya suatu tombak bisa dilihat pada saat ada rampogan tersebut. Menurut pembicaraan umum, kalau tombaknya ampuh, konon saat si harimau lewat di hadapannya, bahu dari si pemegang tombak serasa seperti ditarik oleh sesuatu.
Meskipun hanya terasa sesaat saja, si harimau akan terimbas. Ada lagi cerita, kalau kerisnya ampuh, manakala berjumpa dengan harimau, si keris akan menongolkan diri dan melompat sendiri. Maka tidak heran saat membawa jenis yang seperti itu, si keris haruslah dibungkus terlebih dahulu.
Kadang-kadang harimau itu tak mau lari juga, hanya termenung di depan tombak yang ampuh. Kata orang, harimau semacam itu memang minta diruwat atau dibunuh. Tetapi jika harimaunya lari menerjang barisan, orang yang dituju si macan harus siaga dengan tombak, badan agak miring, kaki kakan di belakang untuk menyangga tubuh, tangan kiri memegang tengah tangkai yang berfungsi sebagai landasan, sedang tangan kanan memegang pangkal, menggerakkan arah tombak.
Gerak-gerik orang yang menjadi peserta rampogan beraneka macam. Ada yang pemberani, ada yang penakut, atau kemudian lemas ketakutan bahkan juga yang lari tunggang langgang, tombaknya terseret-seret sepanjang jalan.
Harimau berhasil lolos. Jika ada harimau besar berhasil mati dirampog dan tidak berhasil meloloskan diri, gandheknya mendapat pujian, ia menari-nari di tengah alun-alun, disoraki banyak orang. Rampogan macan akan lebih ramai dan asyik justru jika ada harimau yang berhasil lolos dan keluar dari arena.
Tingkah laku manusia di alun-alun ribut tak karuan. Ada yang kehilangan anak, kehilangan teman, ada yang mendapat kecelakaan, bahkan ada yang mencopet perhiasan penonton.
Di Kediri pernah ada rampog yang berhasil lolos, karena harimaunya masih segar dan liar lantaran baru saja tertangkap. Saat lepas, dia lari dengan cepat, ekornya tegak menantang lan menerjang pasukan. Ketika dijemput dengan tombak dia justru meloncat dan menjatuhkan diri serta menimpa orang yang berada di lapis depan. Enam orang yang ditubruk tentu saja luka berdarah terkena cakaran harimau. Sementara itu, peserta rampog yang lain melarikan diri sambil membawa tombak, tidak peduli dengan nasib orang lain, bahkan ada yang menabrak dagangan orang sehingga langsung berantakan seketika. Si macan kemudian bersembunyi di bawah bangku tempat orang berjualan. Penjualnya berteriak-teriak, kemudian memukuli bangkunya dengan pikulan. Akhirnya si harimau mati dikroyok tombak orang banyak.
Ada lagi kejadian lucu. Ketika harimaunya berhasil lolos, ada orang yang nekat mencari kesempatan dalam kesempitan dengan menggerayangi tubuh seorang perempuan. Ketika ketahuan polisi, orang tersebut dipukul dengan pedhang yang masih bersarung. Karena banyak yang mengira bahwa orang tersebut pencopet, ia kemudian dikeroyok hingga pingsan. Ketika orang itu sudah hampir mati, barulah ia ditolong, diangkat seperti orang mengangkat babi hutan. Nah, ketika para pemikulnya meloncati sungai kecil, mereka pura-pura terpeleset, dan orang yang digotong jatuh ke sungai.
Di Blitar ada kejadian yang memilukan. Walau terluka perutnya karena tusukan tombak, si harimau sempat lolos dan naik ke pohon beringin. Dengan sendirinya orang-orang yang juga memanjat beringin banyak yang turun merosot ke bawah untuk menyelamatkan diri. Salah seorang di antaranya adalah seorang Cina. Begitu tahu harimaunya memanjat pohon, iapun nekat meloncat turun.
Begitu sampai di tanah ia langsung pingsan, kepalanya bermandikan darah, karena kulit kepalanya terkelupas. Rupanya, kuncirnya yang panjang itu sebelumnya telah diikatkan pada sulur beringin oleh seorang anak yang usil. Waktu itu, memang para Cina masih menguncir rambutnya, tidak model pendek seperti sekarang ini.
Sekitar pukul 14.00 rampogan sudah selesai. Kalau sudah begitu, banyak orang menyesali tombaknya. Katanya, tombaknya takut macan, baru diarahkan saja si tombak sudah letoi, mlungker. Kepercayaan orang waktu itu, memang ada tombak yang penakut.
Sambil memukuli si tombak, orang tersebut mengomel, “Tombak macam apa ini, disayang-sayang, dihormati, dan dikutuki (dibakarkan kemenyan) setiap hari Jumat, tapi saat dibawa ngrampog kok memalukan. Baru lihat gerak-gerik macan saja, sudah letoi. Awas ya, jika sudah sampai di rumah akan kugadaikan kamu!”, begitu omelnya kepada si tombak miliknya.
Menurut kepercayaan orang-orang di masa itu, ampuh tidaknya suatu tombak bisa dilihat pada saat ada rampogan tersebut. Menurut pembicaraan umum, kalau tombaknya ampuh, konon saat si harimau lewat di hadapannya, bahu dari si pemegang tombak serasa seperti ditarik oleh sesuatu.
Meskipun hanya terasa sesaat saja, si harimau akan terimbas. Ada lagi cerita, kalau kerisnya ampuh, manakala berjumpa dengan harimau, si keris akan menongolkan diri dan melompat sendiri. Maka tidak heran saat membawa jenis yang seperti itu, si keris haruslah dibungkus terlebih dahulu.
Tulisan Franz Wilhelm Junghuhn
Franz Wilhelm Junghuhn, dokter ahli manusia tapi lebih cinta mati pada alam Netherland Indies, kini Indonesia. Ia genap berusia 200 tahun pada 26 Oktober 2009 ini. Ya, dua abad silam Junghuhn lahir di Mansfeld, Jerman Timur lalu jatuh cinta sampai mati pada Indonesia hingga meninggal pada 14 April 1864 dan dimakamkan di Lembang, dekat Bandung.
Junghuhn adalah nama besar di dunia botani, tapi sedikit sekali riwayatnya yang diketahui umum karena hanya disebut sepintas lalu dalam pelajaran sejak sekolah dasar di Indonesia. Ia hanya identika dengan kina dan budidayanya. Padahal, minat intelektual Junghuhn merentang lebar, mulai soal ilmu bumi hingga ilmu alam. Kitab berjudul Java niscaya Magnus Opus ilmuan yang pernah divonis 10 tahun penjara karena pertikaian berujung pembunuhan itu.
Junghuhn pertama kali tiba di Jawa pada 13 Oktober 1835. Dari 23 Agustus sampai 10 September 1844 Junghuhn berada di Sala. Selama di situ Junghuhn antara lain menonton Rampokan Macan. Meski tak suka pembunuhan binatang secara sadis itu, Junghuhn memberi laporan lengkap tentang peristiwa itu. Dan, inilah terjemahannya oleh Luwarsih, sebagaimana termuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1984. Selamat membaca…
Junghuhn adalah nama besar di dunia botani, tapi sedikit sekali riwayatnya yang diketahui umum karena hanya disebut sepintas lalu dalam pelajaran sejak sekolah dasar di Indonesia. Ia hanya identika dengan kina dan budidayanya. Padahal, minat intelektual Junghuhn merentang lebar, mulai soal ilmu bumi hingga ilmu alam. Kitab berjudul Java niscaya Magnus Opus ilmuan yang pernah divonis 10 tahun penjara karena pertikaian berujung pembunuhan itu.
Junghuhn pertama kali tiba di Jawa pada 13 Oktober 1835. Dari 23 Agustus sampai 10 September 1844 Junghuhn berada di Sala. Selama di situ Junghuhn antara lain menonton Rampokan Macan. Meski tak suka pembunuhan binatang secara sadis itu, Junghuhn memberi laporan lengkap tentang peristiwa itu. Dan, inilah terjemahannya oleh Luwarsih, sebagaimana termuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1984. Selamat membaca…
=====================================================
PAGI itu ruang muka tempat kediaman residen penuh sesak. Para tamu umumnya perwira dari garnisun, berapa belas orang swats dan pegawai negeri dalam pakaian pesta dan pangeran yang semua mengenakan pakaian seragam. Kebanyakan seragam mayor dan seorang kolonel. Beramai-ramai kemudian mereka naik kereta menuju keraton. Di situ mereka disambut musik terompet dan alat tiup lain.
Susuhunan Paku Buwono bersama residen kemudian bergandengan menuju ke semacam balkon untuk menonton pertunjukan macan. Tempatnya di paseban, bagian tengah keraton yang dinding sekelilingnya sudah penuh orang, termasuk pohon sekitarnya.
Tidak jauh dari balkon kebesaran ada barisan pembawa tombak tajam membentuk segi empat. Panjangnya sekitar 300 kaki dan lebarnya separuhnya. Mereka berdiri dalam tiga sampai empat lapis dan semua membawa senjata runcing. Lapisan paling dalam membawa senjata secara horisontal, yang kedua miring dan yang paling luar ke atas.
Di tengah persegi panjang yang dikelilingi manusia itu ada sederetan kotak kayu berjajar-jajar dengan jarak dua setengah meter. Panjang kotak itu sekitar dua setengah meter dan bagian yang sempit menghadap ke sunan.
Dua abdi dengan pakaian bagus mendekati bakon, berlutut, lalu menyembah. Kemudian aba-aba diberikan. Mereka sekali lagi menyembah, lalu pergi dengan langkah khidmat. Barisan segi empat manusia itu membuka dan menutup lagi setelah kedua orang itu lewat.
Mereka menuju ke kandang yang paling kanan dan menyalakan kayu dan rumput kering di bagian belakang. Salah seorang lalu naik ke atas kandang, memotong tali yang mengikat jendela tarik. Sekali lagi ia menaikturunkan jendela itu supaya orang bisa mendengar suaranya. Kemudian jendela itu dibuang jauh-jauh. Setelah turun dari kandang, ia bersila dan menyembah sunan.
Semua mata sekarang tertuju pada lubang kecil pada kandang. Sementara itu api tambah lama tambah tinggi di ujung belakang. Kedua abdi itu meninggalkan kandang sambil menandak di bawah iringa gamelan. Kedua orang itu sudah sampai ke pinggir, tetapi si macan belum juga tampil.
Tiba-tiba tampak barang coklat di lubang yang gelap. Suara gamelan tambah riuh. Ternyata yang keluar seekor macan loreng. Rupanya ia sama sekali tidak merasa dirinya terancam. Ia malah bangga dengan bajunya yang bergaris-garis. Maka dari itu ia duduk tenang. Ia tak pusing kandangnya habis terbakar. Sejenak kemudian ia jalan menuju salah satu sisi manusia bertombak. Karena tak ada lowongan untuk meloloskan diri, ia mencoba sisi lain. Karena bolak-balik gagal, ia menjadi panik. Ia menggeram dan lari mengelilingi barusan. Di mana-mana ia bertemu tombak runcing.
Ia lari ke tengah lapangan. Karena terus diburu tombak, ia terjatuh sampai terguling-guling. Ia berdiri lagi sampai ditangkis tombak lagi. Akhirnya raja hutan itu tak berkutik lagi. Kemudian menyusul kandang kedua, ketiga dan seterusnya dan penghuninya semuanya mengalami nasib yang sama. Ada yang langsung lari ke arah tombak. Rupanya itu kebiasaan harimau belang, panther, dan binatang muda. Yang lain-lain masih melihat-lihat sebelum melakukan loncatan maut. Ada juga yang berusaha masuk kandang lagi biarpun kandang sudah membara.
Ada juga yang duduk diam di tengah dan tidak berusaha berdiri. Dalam hal itu sudah ada dua keranjang seperti gubuk siap di lapangan yang isinya manusia. Dengan merayap diam-diam mereka mendekati macan itu. Kalau sudah dekat, macan itu didongkel tombak sampai berdiri.
Ketika beberapa kandang sudah habis terbakar dan dua abdi sedang membuka kandang keempat atau kelima, matahari biasanya sudah jauh di atas kepala.
Susuhunan Paku Buwono bersama residen kemudian bergandengan menuju ke semacam balkon untuk menonton pertunjukan macan. Tempatnya di paseban, bagian tengah keraton yang dinding sekelilingnya sudah penuh orang, termasuk pohon sekitarnya.
Tidak jauh dari balkon kebesaran ada barisan pembawa tombak tajam membentuk segi empat. Panjangnya sekitar 300 kaki dan lebarnya separuhnya. Mereka berdiri dalam tiga sampai empat lapis dan semua membawa senjata runcing. Lapisan paling dalam membawa senjata secara horisontal, yang kedua miring dan yang paling luar ke atas.
Di tengah persegi panjang yang dikelilingi manusia itu ada sederetan kotak kayu berjajar-jajar dengan jarak dua setengah meter. Panjang kotak itu sekitar dua setengah meter dan bagian yang sempit menghadap ke sunan.
Dua abdi dengan pakaian bagus mendekati bakon, berlutut, lalu menyembah. Kemudian aba-aba diberikan. Mereka sekali lagi menyembah, lalu pergi dengan langkah khidmat. Barisan segi empat manusia itu membuka dan menutup lagi setelah kedua orang itu lewat.
Mereka menuju ke kandang yang paling kanan dan menyalakan kayu dan rumput kering di bagian belakang. Salah seorang lalu naik ke atas kandang, memotong tali yang mengikat jendela tarik. Sekali lagi ia menaikturunkan jendela itu supaya orang bisa mendengar suaranya. Kemudian jendela itu dibuang jauh-jauh. Setelah turun dari kandang, ia bersila dan menyembah sunan.
Semua mata sekarang tertuju pada lubang kecil pada kandang. Sementara itu api tambah lama tambah tinggi di ujung belakang. Kedua abdi itu meninggalkan kandang sambil menandak di bawah iringa gamelan. Kedua orang itu sudah sampai ke pinggir, tetapi si macan belum juga tampil.
Tiba-tiba tampak barang coklat di lubang yang gelap. Suara gamelan tambah riuh. Ternyata yang keluar seekor macan loreng. Rupanya ia sama sekali tidak merasa dirinya terancam. Ia malah bangga dengan bajunya yang bergaris-garis. Maka dari itu ia duduk tenang. Ia tak pusing kandangnya habis terbakar. Sejenak kemudian ia jalan menuju salah satu sisi manusia bertombak. Karena tak ada lowongan untuk meloloskan diri, ia mencoba sisi lain. Karena bolak-balik gagal, ia menjadi panik. Ia menggeram dan lari mengelilingi barusan. Di mana-mana ia bertemu tombak runcing.
Ia lari ke tengah lapangan. Karena terus diburu tombak, ia terjatuh sampai terguling-guling. Ia berdiri lagi sampai ditangkis tombak lagi. Akhirnya raja hutan itu tak berkutik lagi. Kemudian menyusul kandang kedua, ketiga dan seterusnya dan penghuninya semuanya mengalami nasib yang sama. Ada yang langsung lari ke arah tombak. Rupanya itu kebiasaan harimau belang, panther, dan binatang muda. Yang lain-lain masih melihat-lihat sebelum melakukan loncatan maut. Ada juga yang berusaha masuk kandang lagi biarpun kandang sudah membara.
Ada juga yang duduk diam di tengah dan tidak berusaha berdiri. Dalam hal itu sudah ada dua keranjang seperti gubuk siap di lapangan yang isinya manusia. Dengan merayap diam-diam mereka mendekati macan itu. Kalau sudah dekat, macan itu didongkel tombak sampai berdiri.
Ketika beberapa kandang sudah habis terbakar dan dua abdi sedang membuka kandang keempat atau kelima, matahari biasanya sudah jauh di atas kepala.
Filosofis dan nilai Politis Rampogan Macan
Tafsiran Politis
Persoalan sudah dimulai dengan ejaan rampokan itu sendiri, yang selama ini ditulis dengan rampogan. Sangat mudah untuk mengatakan bahwa ejaan rampokan itu “salah”- tetapi jauh lebih produktif untuk mempertimbangkan bahwa perbedaan antara rampokan dan rampogan itu disebabkan oleh faktor-faktor determinan tak terhindarkan, yang berakar dari penafsiran atas peristiwa rampokan/rampogan itu sendiri.
Rampokan/rampogan adalah suatu pertunjukan yang merupakan tradisi di Jawa pada akhir abad XIX sampai awal abad XX. Pertunjukan itu berlangsung pada hari Lebaran, sebagai bagian dari perayaan menutup bulan Ramadhan. Pada hari itu penduduk akan datang berbondong-bondong ke alun-alun, melingkari alun-alun itu dengan berdesak-desakan, tempat di mana baris terdepan terdiri dari orang-orang yang membawa tombak panjang dan runcing.
Di salah satu sisi terdapatlah panggung bagi para pejabat setempat, biasanya setingkat bupati dan para pejabat Hindia Belanda juga-mereka siap menyaksikan peristiwa rampog macan, yang tak lebih dan tak kurang adalah pertunjukan membantai harimau, baik harimau loreng, tutul, maupun kumbang yang hitam kelam itu.
Makhluk-makhluk ini ditangkap dari hutan, lantas dimasukkan ke dalam kotak yang terlihat berjajar di alun-alun. Kotak itu sengaja dibuat untuk acara rampokan/rampogan ini, sehingga terdapat mekanisme pembukaan kotak yang membuat sang raja hutan terpaksa keluar dari kotak setelah sisi-sisinya terbuka. Untuk kotak yang hanya bisa dibuka salah satu sisi, sehingga memungkinkan harimau di dalamnya tetap tidak keluar, maka tersedia lubang di sisi lain agar bisa dimasuki tombak untuk menyodok-nyodok harimau itu keluar.
Dalam berbagai laporan yang ditulis tentang pertunjukan ini, antara lain dalam Bakda Mawi Rampog (RM Kartowibowo: Bale Poestaka, 1928), dikisahkan tentang harimau yang akan menjadi panik dan berlari ke sana kemari, hanya untuk berhadapan dengan tombak-tombak yang melukai dan membuatnya tewas.
Namun ada juga cerita lucu tentang harimau yang setelah keluar kotak hanya akan menguap dan tidur enak-enak. Sensasi peristiwa ini adalah bila harimau bisa menemukan celah di antara tombak dan menerobos kerumunan, membuat para penonton lari ketakutan dan banyak di antaranya yang lari naik pohon-tak sadar mereka bahwa bukan masalah besar bagi harimau untuk juga naik ke atas pohon.
Peristiwa apakah ini sebenarnya? Disebutkan bahwa rampog macan adalah upacara yang menjadi simbol pengusiran roh jahat, tentu tanpa harus meminta izin harimau itu apakah sudi menjadi representasi roh jahat atau tidak. Dalam pemahaman ini, agak relevan catatan J. B. Ruzius pada 1906, “…aku mendekat dan menyaksikan bagaimana setiap orang berusaha gagah di hadapan bangkai yang terluka parah. Bahkan ada yang dengan kaki telanjang menendang luka yang makin lebar menganga itu.”
Jelas melalui kacamata orang Belanda yang terkutip dalam Rampog Macan ini (Ananda Moersid: Zaman, 7 Juli 1984), orang Jawa tidak terpandang dengan hormat. Kalau kita bandingkan dengan katarsis sadisme lain, dari gelanggang matador di Spanyol misalnya, yang ada kemungkinan setidaknya pernah didengar orang-orang Belanda masa itu, maka rampog macan ini tentunya tak tergolongkan sebagai perilaku ksatria.
Masalah jadi lain ketika informasi baru masuk, bahwa diam-diam harimau ini dipandang oleh penduduk sebagai representasi penjajah-jadi pembantaian harimau adalah suatu katarsis, atau dalam terminologi kajian budaya lebih tepat disebut perlawanan menghadapi dominasi kekuasaan Kumpeni. Bahwa harimau merupakan representasi penjajah, yang artinya disetarakan dengan roh jahat, disebut berasal dari tradisi pertunjukan sebelumnya, yakni adu banteng dengan macan, yang sering dimenangkan oleh banteng, meski binatang satu ini cukup lamban.
Disebutkan, orang-orang Jawa melakukan identifikasi diri dengan banteng tersebut, dan tanpa disuruh segera mengharimaukan orang-orang Belanda yang tak bisa dilawan itu.
Untuk diketahui, tafsiran politis sejenis pernah diberlakukan kepada lukisan Raden Saleh dari tahun 1848, Antara Hidup dan Mati, yang menggambarkan pertarungan seekor bison melawan dua ekor singa. Lukisan yang musnah terbakar tahun 1931 itu juga pernah ditafsirkan sebagai perlawanan orang Jawa terhadap kolonialisme Belanda.
Tahun lukisan tersebut dibuat betapapun beresonansi dengan masa pertarungan banteng melawan macan, sebelum hanya menjadi pembantaian harimau antara 1890-1900-an, dan akhirnya dilarang secara resmi oleh pemerintah kolonial pada 1905 dengan alasan populasi maupun alasan etis. Catatan Ruzius di atas rupanya adalah kenangan setelah rampog macan tersebut dilarang.
Dengan demikian rupanya wacana rampokan/rampogan telah mendapat pembebanan ideologis yang masih berpeluang mendapat tafsiran baru, apalagi jika itu merupakan tema dominan komik yang terbit abad XXI.
Pembalikan Macan
Dengan modal pemahaman ini, kisah Rampokan Jawa bisa mendapatkan makna yang relevan, karena memang berkisah tentang Johan Knevel yang lahir dan besar di Hindia Belanda, pergi ke Belanda untuk bersekolah, tapi kembali ke Indonesia sebagai anggota militer yang berusaha mengembalikan kolonialisme pada 1948.
Johan digambarkan datang dengan penuh cinta, tentu saja sebagai representasi pandangan romantik, yang berpandangan bahwa Indonesia adalah surga yang harus diselamatkan. Cara Johan mengenang masa lalu, misalnya hubungan dengan pengasuh, yang disebut Ninih, menjelaskan romantisisme itu; tetapi Van Dongen memang membenturkannya dengan berbagai kenyataan-tak- romantik, seperti ketika ia harus melepas sepatu “seperti pribumi”, karena sinisme serdadu Belanda “asli” seperti Jonker yang jadi komandan peletonnya.
Kenyataan-tak- romantik lain tentu adalah sabotase anti-Belanda dari penduduk negeri surgawi itu sendiri. Kisah Johan berlangsung parallel dengan adegan rampokan/rampogan yang sebetulnya belum jelas kaitan langsungnya, kecuali jika suatu makna tertentu mau dihubung-hubungkan- kesulitan yang timbul karena kisah ini masih bersambung ke Rampokan Celebes.
Namun setidaknya mitos yang terbaca dari komik ini sudah menyampaikan, bahwa ada sesuatu yang penting dalam kaitannya dengan rampokan/rampogan tersebut, seperti tergambarkan melalui adegan-adegannya.
Misalnya terdapat adegan ketika harimau itu lepas dari kepungan tombak, dan karena itu sudah semestinyalah ditembak. Bukan saja harimau itu disebut dengan gagah sebagai predator, tetapi juga senapan (produk teknologi asing yang lebih superior daripada tombak Jawa) opas Kumpeni yang siap menembaknya ternyata macet, sehingga harimau itu dengan anggun bisa melesat ke balik semak, dan sebaliknya dari tempat tersembunyi mengintai penuh ancaman.
Dalam adegan ini kita melihat harimau sebagai pihak tertindas yang melakukan perlawanan, pembaca atau setidaknya penggubah komik ini berempati kepada harimau yang semula akan dikorbankan untuk dibantai tersebut. Dengan begitu, jika kita melihatnya secara parallel dengan cerita komik ini, harimau itu tidak teridentifikasikan dengan kolonialisme Belanda, sebaliknya justru sebagai representasi semangat perlawanan penduduk yang mau merdeka.
Belum bisa diketahui bagaimana rampokan/rampogan akan termaknai dalam kisah lanjutannya, yakni Rampokan Celebes, tetapi perbincangan ini kiranya telah menunjuk kemungkinan betapa artikulasi atas wacana yang sama bisa berubah, bahkan berbalik, sebagai suatu aspek yang dipandang dalam fenomena kolonialisme/ pascakolonialism e-bahwa dekolonisasi takbisa menjadi pemutus hubungan dengan masa lalu.
Sebaliknya, wacana pascakolonialisme hanya mendapatkan pembermaknaannya sebagai bagian sekaligus lanjutan dari kolonialisme. Tepatnya, dekolonisasi (termasuk antikolonialisme tentunya) adalah sebagian saja dari pascakolonialisme, yang takjarang terwujudkan sebagai neokolonialisme.
Ini berarti meski kemerdekaan bisa diraih tetapi masa lalu tidak mungkin dihapuskan, bahkan menjadi bagian dari tindak pembermaknaan ke masa depan. Dengan demikian, ejaan rampokan memang tidak perlu dilihat sebagai kesalahan, melainkan konsekuensi logis keberbedaan sudut pandang.
Dalam Bausastra Jawa-Indonesia (S.Prawiroatmodjo: Express & Marfiah, 1957), rampog memang berarti rampok, tetapi adalah rampogan yang berarti “menghujani senjata kepada harimau”- tiada cerita tentang rampokan. Keterpelesetan ini, seperti telah saya sebutkan, sebaiknya diberi makna yang produktif, ketimbang sekadar menyalahkan, karena dari setiap sudut pandang termungkinkan pembenarannya sendiri.
Persoalan sudah dimulai dengan ejaan rampokan itu sendiri, yang selama ini ditulis dengan rampogan. Sangat mudah untuk mengatakan bahwa ejaan rampokan itu “salah”- tetapi jauh lebih produktif untuk mempertimbangkan bahwa perbedaan antara rampokan dan rampogan itu disebabkan oleh faktor-faktor determinan tak terhindarkan, yang berakar dari penafsiran atas peristiwa rampokan/rampogan itu sendiri.
Rampokan/rampogan adalah suatu pertunjukan yang merupakan tradisi di Jawa pada akhir abad XIX sampai awal abad XX. Pertunjukan itu berlangsung pada hari Lebaran, sebagai bagian dari perayaan menutup bulan Ramadhan. Pada hari itu penduduk akan datang berbondong-bondong ke alun-alun, melingkari alun-alun itu dengan berdesak-desakan, tempat di mana baris terdepan terdiri dari orang-orang yang membawa tombak panjang dan runcing.
Di salah satu sisi terdapatlah panggung bagi para pejabat setempat, biasanya setingkat bupati dan para pejabat Hindia Belanda juga-mereka siap menyaksikan peristiwa rampog macan, yang tak lebih dan tak kurang adalah pertunjukan membantai harimau, baik harimau loreng, tutul, maupun kumbang yang hitam kelam itu.
Makhluk-makhluk ini ditangkap dari hutan, lantas dimasukkan ke dalam kotak yang terlihat berjajar di alun-alun. Kotak itu sengaja dibuat untuk acara rampokan/rampogan ini, sehingga terdapat mekanisme pembukaan kotak yang membuat sang raja hutan terpaksa keluar dari kotak setelah sisi-sisinya terbuka. Untuk kotak yang hanya bisa dibuka salah satu sisi, sehingga memungkinkan harimau di dalamnya tetap tidak keluar, maka tersedia lubang di sisi lain agar bisa dimasuki tombak untuk menyodok-nyodok harimau itu keluar.
Dalam berbagai laporan yang ditulis tentang pertunjukan ini, antara lain dalam Bakda Mawi Rampog (RM Kartowibowo: Bale Poestaka, 1928), dikisahkan tentang harimau yang akan menjadi panik dan berlari ke sana kemari, hanya untuk berhadapan dengan tombak-tombak yang melukai dan membuatnya tewas.
Namun ada juga cerita lucu tentang harimau yang setelah keluar kotak hanya akan menguap dan tidur enak-enak. Sensasi peristiwa ini adalah bila harimau bisa menemukan celah di antara tombak dan menerobos kerumunan, membuat para penonton lari ketakutan dan banyak di antaranya yang lari naik pohon-tak sadar mereka bahwa bukan masalah besar bagi harimau untuk juga naik ke atas pohon.
Peristiwa apakah ini sebenarnya? Disebutkan bahwa rampog macan adalah upacara yang menjadi simbol pengusiran roh jahat, tentu tanpa harus meminta izin harimau itu apakah sudi menjadi representasi roh jahat atau tidak. Dalam pemahaman ini, agak relevan catatan J. B. Ruzius pada 1906, “…aku mendekat dan menyaksikan bagaimana setiap orang berusaha gagah di hadapan bangkai yang terluka parah. Bahkan ada yang dengan kaki telanjang menendang luka yang makin lebar menganga itu.”
Jelas melalui kacamata orang Belanda yang terkutip dalam Rampog Macan ini (Ananda Moersid: Zaman, 7 Juli 1984), orang Jawa tidak terpandang dengan hormat. Kalau kita bandingkan dengan katarsis sadisme lain, dari gelanggang matador di Spanyol misalnya, yang ada kemungkinan setidaknya pernah didengar orang-orang Belanda masa itu, maka rampog macan ini tentunya tak tergolongkan sebagai perilaku ksatria.
Masalah jadi lain ketika informasi baru masuk, bahwa diam-diam harimau ini dipandang oleh penduduk sebagai representasi penjajah-jadi pembantaian harimau adalah suatu katarsis, atau dalam terminologi kajian budaya lebih tepat disebut perlawanan menghadapi dominasi kekuasaan Kumpeni. Bahwa harimau merupakan representasi penjajah, yang artinya disetarakan dengan roh jahat, disebut berasal dari tradisi pertunjukan sebelumnya, yakni adu banteng dengan macan, yang sering dimenangkan oleh banteng, meski binatang satu ini cukup lamban.
Disebutkan, orang-orang Jawa melakukan identifikasi diri dengan banteng tersebut, dan tanpa disuruh segera mengharimaukan orang-orang Belanda yang tak bisa dilawan itu.
Untuk diketahui, tafsiran politis sejenis pernah diberlakukan kepada lukisan Raden Saleh dari tahun 1848, Antara Hidup dan Mati, yang menggambarkan pertarungan seekor bison melawan dua ekor singa. Lukisan yang musnah terbakar tahun 1931 itu juga pernah ditafsirkan sebagai perlawanan orang Jawa terhadap kolonialisme Belanda.
Tahun lukisan tersebut dibuat betapapun beresonansi dengan masa pertarungan banteng melawan macan, sebelum hanya menjadi pembantaian harimau antara 1890-1900-an, dan akhirnya dilarang secara resmi oleh pemerintah kolonial pada 1905 dengan alasan populasi maupun alasan etis. Catatan Ruzius di atas rupanya adalah kenangan setelah rampog macan tersebut dilarang.
Dengan demikian rupanya wacana rampokan/rampogan telah mendapat pembebanan ideologis yang masih berpeluang mendapat tafsiran baru, apalagi jika itu merupakan tema dominan komik yang terbit abad XXI.
Pembalikan Macan
Dengan modal pemahaman ini, kisah Rampokan Jawa bisa mendapatkan makna yang relevan, karena memang berkisah tentang Johan Knevel yang lahir dan besar di Hindia Belanda, pergi ke Belanda untuk bersekolah, tapi kembali ke Indonesia sebagai anggota militer yang berusaha mengembalikan kolonialisme pada 1948.
Johan digambarkan datang dengan penuh cinta, tentu saja sebagai representasi pandangan romantik, yang berpandangan bahwa Indonesia adalah surga yang harus diselamatkan. Cara Johan mengenang masa lalu, misalnya hubungan dengan pengasuh, yang disebut Ninih, menjelaskan romantisisme itu; tetapi Van Dongen memang membenturkannya dengan berbagai kenyataan-tak- romantik, seperti ketika ia harus melepas sepatu “seperti pribumi”, karena sinisme serdadu Belanda “asli” seperti Jonker yang jadi komandan peletonnya.
Kenyataan-tak- romantik lain tentu adalah sabotase anti-Belanda dari penduduk negeri surgawi itu sendiri. Kisah Johan berlangsung parallel dengan adegan rampokan/rampogan yang sebetulnya belum jelas kaitan langsungnya, kecuali jika suatu makna tertentu mau dihubung-hubungkan- kesulitan yang timbul karena kisah ini masih bersambung ke Rampokan Celebes.
Namun setidaknya mitos yang terbaca dari komik ini sudah menyampaikan, bahwa ada sesuatu yang penting dalam kaitannya dengan rampokan/rampogan tersebut, seperti tergambarkan melalui adegan-adegannya.
Misalnya terdapat adegan ketika harimau itu lepas dari kepungan tombak, dan karena itu sudah semestinyalah ditembak. Bukan saja harimau itu disebut dengan gagah sebagai predator, tetapi juga senapan (produk teknologi asing yang lebih superior daripada tombak Jawa) opas Kumpeni yang siap menembaknya ternyata macet, sehingga harimau itu dengan anggun bisa melesat ke balik semak, dan sebaliknya dari tempat tersembunyi mengintai penuh ancaman.
Dalam adegan ini kita melihat harimau sebagai pihak tertindas yang melakukan perlawanan, pembaca atau setidaknya penggubah komik ini berempati kepada harimau yang semula akan dikorbankan untuk dibantai tersebut. Dengan begitu, jika kita melihatnya secara parallel dengan cerita komik ini, harimau itu tidak teridentifikasikan dengan kolonialisme Belanda, sebaliknya justru sebagai representasi semangat perlawanan penduduk yang mau merdeka.
Belum bisa diketahui bagaimana rampokan/rampogan akan termaknai dalam kisah lanjutannya, yakni Rampokan Celebes, tetapi perbincangan ini kiranya telah menunjuk kemungkinan betapa artikulasi atas wacana yang sama bisa berubah, bahkan berbalik, sebagai suatu aspek yang dipandang dalam fenomena kolonialisme/ pascakolonialism e-bahwa dekolonisasi takbisa menjadi pemutus hubungan dengan masa lalu.
Sebaliknya, wacana pascakolonialisme hanya mendapatkan pembermaknaannya sebagai bagian sekaligus lanjutan dari kolonialisme. Tepatnya, dekolonisasi (termasuk antikolonialisme tentunya) adalah sebagian saja dari pascakolonialisme, yang takjarang terwujudkan sebagai neokolonialisme.
Ini berarti meski kemerdekaan bisa diraih tetapi masa lalu tidak mungkin dihapuskan, bahkan menjadi bagian dari tindak pembermaknaan ke masa depan. Dengan demikian, ejaan rampokan memang tidak perlu dilihat sebagai kesalahan, melainkan konsekuensi logis keberbedaan sudut pandang.
Dalam Bausastra Jawa-Indonesia (S.Prawiroatmodjo: Express & Marfiah, 1957), rampog memang berarti rampok, tetapi adalah rampogan yang berarti “menghujani senjata kepada harimau”- tiada cerita tentang rampokan. Keterpelesetan ini, seperti telah saya sebutkan, sebaiknya diberi makna yang produktif, ketimbang sekadar menyalahkan, karena dari setiap sudut pandang termungkinkan pembenarannya sendiri.
=====================================================================
Kartu Pos Berlatar Rampogan
kartu pos 'Rampogan Macan' |
Kartupos diterbitkan F.W. Krapp dari Soerabaja ini berjudul “Groet uit Java” (= Salam dari Jawa). Ini salah satu dari kartupos bergambar yang paling kuno dan juga kartupos berwarna yang betul-betul pertama dari Jawa, dari koleksi yang dimiliki Priambodo Prayitno, blogger asal Surabaya.
Gambarnya adalah komposisi artistik yang dibuat dari berbagai foto. Sisi gambar punya tempat kosong yang diperuntukkan untuk menulis surat. Soalnya sebelum 1906 masih dilarang keras menulis berita di sisi alamat. Penerbitan ini adalah co-produksi dengan penerbit P. Demcker dari Berlin, Jerman. Dicetak oleh pencetak buku Van Greiner & Pfeiffer dari Stuttgart, Jerman. Pelukis membuat komposisi yang mengambarkan berbagai tempat di Jawa Timur, yaitu Kajoon Soerabaja (Jalan Kayun Surabaya), Gunung Bromo sedang meletus, dan desa Tosari. Juga terlihat binatang kelelawar dan monyet. Gambar utama memperlihatkan Rampokan Macan. Gambar dibuat dari foto yang diambil pada tahun 1880 di kota Blitar.
Rampokan Macan adalah ritual tradisional yang dilaksanakan di kota Blitar, Kediri dan sekelilingnya. Artinya adalah bertempur melawan macan (harimau Jawa). Biasanya ritual ini dilaksanakan setelah Bulan Ramadhan dengan tujuan membunuh macan atau kejahatan. Jika bisa membunuh macan yang dianggap roh jahat makanya tidak ada bencana. Permainan gladiator gaya Jawa ini diadakan di alun-alun kota untuk menunjukan kesaktian dan hiburan. Harimau Jawa berukuran kecil dibandingkan jenis-jenis harimau lain. Harimau jantan mempunyai berat 100-141 kg dan panjangnya dapat mencapai kira-kira 2.43 meter. Betina sedikit lebih kecil dari jenis jantan. Di akhir abad ke-19, harimau ini masih banyak berkeliaran di pulau Jawa. Hewan ini dinyatakan punah di sekitar tahun 1980an.
Kartu ditulisi dalam bahasa Belanda: ”Lieve kindjes. Hoe gaat het je allen? Hier alles wel. Een zoen van jullie An”
Bahasa Indonesianya: ”Anak-anak baik! Kalian apa kabarnya? Disini semuanya baik. Cium dari An”
=====================================================================
Gambarnya adalah komposisi artistik yang dibuat dari berbagai foto. Sisi gambar punya tempat kosong yang diperuntukkan untuk menulis surat. Soalnya sebelum 1906 masih dilarang keras menulis berita di sisi alamat. Penerbitan ini adalah co-produksi dengan penerbit P. Demcker dari Berlin, Jerman. Dicetak oleh pencetak buku Van Greiner & Pfeiffer dari Stuttgart, Jerman. Pelukis membuat komposisi yang mengambarkan berbagai tempat di Jawa Timur, yaitu Kajoon Soerabaja (Jalan Kayun Surabaya), Gunung Bromo sedang meletus, dan desa Tosari. Juga terlihat binatang kelelawar dan monyet. Gambar utama memperlihatkan Rampokan Macan. Gambar dibuat dari foto yang diambil pada tahun 1880 di kota Blitar.
Rampokan Macan adalah ritual tradisional yang dilaksanakan di kota Blitar, Kediri dan sekelilingnya. Artinya adalah bertempur melawan macan (harimau Jawa). Biasanya ritual ini dilaksanakan setelah Bulan Ramadhan dengan tujuan membunuh macan atau kejahatan. Jika bisa membunuh macan yang dianggap roh jahat makanya tidak ada bencana. Permainan gladiator gaya Jawa ini diadakan di alun-alun kota untuk menunjukan kesaktian dan hiburan. Harimau Jawa berukuran kecil dibandingkan jenis-jenis harimau lain. Harimau jantan mempunyai berat 100-141 kg dan panjangnya dapat mencapai kira-kira 2.43 meter. Betina sedikit lebih kecil dari jenis jantan. Di akhir abad ke-19, harimau ini masih banyak berkeliaran di pulau Jawa. Hewan ini dinyatakan punah di sekitar tahun 1980an.
Kartu ditulisi dalam bahasa Belanda: ”Lieve kindjes. Hoe gaat het je allen? Hier alles wel. Een zoen van jullie An”
Bahasa Indonesianya: ”Anak-anak baik! Kalian apa kabarnya? Disini semuanya baik. Cium dari An”
=====================================================================
lukisan mengenai Rampogan Macan" |
Pemerintah kolonial Hindia Belanda melarang rampokan macan di seluruh hindia belanda pada tahun 1905 |
Keren Banget Mas, berasa masuk ke jaman itu...
BalasHapusmakasih udah mampir.. saya cuma share aja kok.. :)
BalasHapusmakasih infonya
BalasHapus